Senin 27 Apr 2020 05:41 WIB

Aplikasi Lacak Pasien Corona di Australia Picu Kontroversi

Aplikasi pelacakan pasien corona di Australia dinilai ganggu privasi individu.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Foto yang dipentaskan dari seseorang yang menggunakan aplikasi pelacak corona virus pemerintah Australia, ilustrasi
Foto: EPA-EFE / DARREN INGGRIS AUSTRALIA DAN SELAND
Foto yang dipentaskan dari seseorang yang menggunakan aplikasi pelacak corona virus pemerintah Australia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Australia meluncurkan aplikasi pelacakan pasien virus corona yang kontroversial dan berjanji akan membuat undang-undang perlindungan privasi. Di sisi lain, pemerintah Australia juga ingin ekonomi kembali normal lagi.

Australia dan tetangganya Selandia Baru berhasil mengendalikan penyebaran virus corona sebelum membebankan sistem kesehatan publik. Tapi, pemerintah kedua negara masih khawatir dengan risiko wabah susulan.

Baca Juga

"Kami menang, tapi kami belum menang," kata Menteri Kesehatan Australia Greg Hunt dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Ahad (26/4).

Dalam kesempatan itu, Hunt mengumumkan aplikasi pelacakan tersebut. Aplikasi yang dikembangkan dari perangkat lunak Singapura TraceTogether ini menggunakan sinyal bluetooth untuk menyala ketika pengguna berdiri terlalu berdekat.

Kelompok kebebasan sipil mengkritik aplikasi tersebut yang menurut mereka mengganggu privasi individu. Agar upaya ini berjalan efektif pemerintah Australia ingin setidaknya 40 persen populasi menggunakan aplikasi tersebut.  

Mereka menegaskan aplikasi itu tidak akan melacak lokasi pengguna dan bersifat aman. Aplikasi itu akan menyimpan seluruh kontak nomor telepon pengguna agar petugas kesehatan dapat melacak orang-orang yang berpotensi terinfeksi.

"Ini akan membantu kami untuk kembali menjalani hidup normal dan gaya Australia, tidak ada yang memiliki akses terhadap itu, bahkan tidak diri Anda sendiri, hanya petugas kesehatan medis negara yang bisa mengakses data itu," kata Hunt.

Melalui situs aplikasi tersebut, Kementerian Kesehatan Australia mengatakan undang-undang yang langsung mengenai aplikasi itu akan diajukan bulan Mei. Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Israel menggunakan metode teknologi tinggi untuk melacak kontak pasien Covid-19. Salah satunya dengan melacak lokasi pengguna aplikasi melalui jaringan telepon. Beberapa negara tidak dapat menerima pendekatan yang dengan pengawasan ketat dan sentralisasi seperti itu.

Berdasarkan jajak pendapat kepercayaan publik terhadap pemerintah Australia dan Selandia Baru meningkat. Kedua negara yang dipimpin sayap idelogi yang berseberangan sama-sama dinilai berhasil mengendalikan pandemi.

Rata-rata jumlah kasus baru dalam dua pekan terakhir di dua negara itu di bawah 1 persen, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Negara Bagian Queensland dan Western Australia mengatakan pekan ini mereka akan mulai sedikit melonggarkan peraturan pembatasan sosial, salah satunya mengizinkan pertemuan besar digelar kembali. Tapi Negara bagian Victoria mengatakan mereka belum siap melonggarkan karantina wilayah.

Pada Ahad ini, Australia melaporkan 16 kasus baru. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Negeri Kanguru sudah melaporkan 6.703 kasus. Sebanyak 83 pasien di antaranya meninggal dunia.

Sementara, Selandia Baru hanya melaporkan empat kasus baru sehingga total kasus infeksi di Negeri Kiwi itu 1.121. Data Kementerian Kesehatan Selandia Baru menunjukkan sebanyak delapan pasien meninggal dunia. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement