REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saham emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diprediksi akan sulit pulih usai krisis Covid-19 nanti. Analis pasar modal dari Koneksi Kapital Indonesia, Alfred Nainggolan, melihat saham BUMN menghadapi tantangan yang cukup berat dalam lima tahun terakhir.
"Saya melihat dalam lima tahun terakhir, saham BUMN punya kinerja yang lebih buruk dibandingkan emiten nonBUMN," kata Alfred dalam sebuah diskusi virtual bertajuk Mendulang Profit dari Saham-saham BUMN Pasca Covid-19, di Jakarta, Ahad (26/4).
Alfred menjelaskan, anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun ini yang mencapai 28 persen didorong oleh koreksi saham-saham BUMN. Secara year to date, Alfred mencatat kapitalisasi saham BUMN turun hingga 37,8 persen atau jatuh lebih dalam dari IHSG. Sementara emiten nonBUMN hanya turun sekitar 25,4 persen.
Menurut Alfred, sulitnya fase pemulihan bagi saham BUMN usai krisis Covid-19 lantaran tertekanan persepsi negatif yang cukup besar. Beberapa di antaranya yang mendapat perhatian pasar dalam beberapa tahun terakhir seperti sejumlah BUMN karya serta Garuda Indonesia.
Alfred membandingkan kondisi saham BUMN ini sangat jauh dibandingkan saat menghadapi krisis pada 2008 silam. Menurutnya, sentimen negatif saham BUMN pada saat saat itu tidak sekuat sekarang. Sehingga fase pulih dari level terendah pun pada 2008 itu jauh lebih cepat dari pasar.
Kalau IHSG secara keseluruhan membutuhkan waktu 16 bulan untuk bisa menyentuh level tertingginya dari fase bottom, saham-saham BUMN seperti dari sektor perbankan dan infrastruktur hanya butuh waktu 10 bulan untuk pulih kembali ke level tertinggi.
Namun, menurut Alfred, tantangan saham BUMN pada tahun ini cukup berat karena banyak diikuti oleh sentimen-sentimen negatif. "Artinya kondisi ini yang membuat BUMN cukup sulit mengulang proses pemulihan di 2008," kata Alfred.