REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana merampingkan anak-cucu usaha BUMN yang saat ini mencapai 800 perusahaan. Terlebih, dalam beberapa kesempatan, Erick menilai banyak anak-cucu usaha yang bergerak di luar core bussiness atau bisnis inti dari induk perusahaan. Erick mengaku sudah mulai memetakan anak-cucu usaha BUMN mana saja yang terkena perampingan.
"70 persen mapping-nya, saya itu konsolidasi. Kalau kita lihat total 142 BUMN dengan 800 anak-cucu, kebayang nggak kalau kebijakan ke depan 70 persen akan konsolidasi," ujar Erick saat konferensi digital di Jakarta, Jumat (3/4).
Erick menyampaikan proses perampingan anak-cucu usaha BUMN tidak dapat dilakukan secara langsung. Erick menyebut proses perampingan berjalan bertahap, bahkan akan berlanjut dalam periode kepemimpinan Menteri BUMN berikutnya.
Sebagai tahap awal, Erick memangkas 25 anak-cucu usaha Pertamina, 20 anak-cucu usaha Telkom, dan enam anak-cucu usaha Garuda. Untuk 25 anak usaha Pertamina, kata Erick, proses perampingan dilakukan dalam dua tahap yakni delapan anak usaha pada tahun ini dan 17 anak usaha sisanya pada tahun depan.
"Ini yang kita selalu harus pantau dan tekankan kepada semua direksi BUMN, ini semua harus berjalan. Tidak hanya sebuah wacana. Kadang-kadang kita bangsa jago bikin wacana, ketika implementasi ini nol," ucap Erick.
Erick meyakini para pimpinan BUMN mampu menerjemahkan perintahnya untuk memetakan perampingan anak-usaha. Erick menyebut langkah perampingan merupakan bagian dari efisiensi dan mendorong BUMN untuk bisa lebih fokus pada bisnis utamanya.
Erick menekankan fokus BUMN saat ini untuk konsolidasi dan efisiensi, bukan terjebak dengan divestasi atau pelepasan perusahaan. Erick menilai tindakan divestasi tak akan memberikan hasil yang signifikan bagi BUMN saat ini.
"Yang utamanya itu konsolidasi dan efisiensi, jangan terjebak divestasi. Divestasi saya rasa tidak akan signfikan karena nilainya kecil sekali. Karena itu, awalnya ini paling penting konsolidasi dan efisiensi, bukan divestasi," kata Erick.
Erick juga tak ingin terburu-buru dalam proses akuisisi. Menurut Erick, proses akuisisi perlu ada pendampingan dari kejaksaan, BPKP, KPK, agar tidak ada persoalan hukum di kemudian hari. Oleh karenanya, Erick menekankan pentingnya menerapkan proses bisnis yang benar, bukan berdasarkan proyek.
"Jangan direksi termasuk kementerian mengakusisi sebuah perusahaan karena ada uang balik seperti yang terjadi di Garuda, beli pesawat ada feedback dan itu sudah diproses oleh KPK. Ini yang kita mau jaga, penting sekali transparansi terjadi dan proses bisnis harus dikawal," ungkap Erick.