REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) percaya diri akan mendapat dukungan politik dari parlemen untuk merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, termasuk memperlebar rentang defisit. Risiko pelebaran defisit APBN semakin nyata menyusul tekanan ekonomi akibat Covid-19 dan belanja yang semakin bengkak demi memberi insentif bagi industri dan rumah tangga.
Menurut UU, batas aman defisit APBN adalah 3,0 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Presiden menyebutkan, dirinya telah bertemu pimpinan DPR dan kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membahas hal ini.
Demi mengubah UU APBN tanpa melalui mekanisme pembahasan di Badan Anggaran (Banggar), maka presiden memiliki kewenangan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Intinya, kita ingin ada relekasasi dari APBN dan saat kita mengeluarkan perppu artinya dukungan politik sudah kita bicarakan sebelumnya," jelas Presiden Jokowi dalam keterangannya, Selasa (24/3).
Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi, risiko pelebaran defisit anggaran yang bisa jadi akan tembus 3,0 persen. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi nasional juga diprediksi ikut melambat. Pemerintah menghitung, bila pandemi Covid-19 di Indonesia bisa segera diatasi, maka ekonomi Indonesia masih bisa dijaga tumbuh di rentang 2,5 persen sampai 3 persen di kuartal II 2020.
Angka defisit APBN yang disebut oleh Menkeu Sri Mulyani memang jauh lebih lebar dari prediksi sebelumnya. Awal Maret ini, Sri masih yakin pelebaran defisit bisa dijaga di rentang 2,2 persen hingga 2,5 persen sepanjang tahun. Target aslinya, defisit dipatok Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen dari porsi APBN.