REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal menyatakan, daya saing investasi Indonesia yang melemah memang membutuhkan perbaikan di banyak aspek. Mulai dari permasalahan perizinan, ketenagakerjaan, tumpang tindih kewenangan hingga bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan investasi dengan permasalahan lingkungan.
"Oleh karenanya, banyak pihak berharap adanya perbaikan fundamental pada iklim investasi. Untuk memperbaiki dari sisi regulasi, pemerintah telah berinisiatif untuk menerbitkan Omnibus Law, yang di antaranya melalui Rancangan Undang Undang Cipta Kerja," kata Faisal kepada Republika.
Akan tetapi, kata Faisal, walaupun banyak investor mengharapkan perbaikan melalui RUU Cipta Kerja ini, secara substansi masih banyak kelemahan. Draf RUU Cipta Kerja saat ini terlalu banyak mereduksi kewenangan pemerintah daerah yang bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah. Dalam beberapa sisi, Omnibus Law juga tidak menyentuh pada akar penyebab mandeknya investasi, salah satunya terkait dengan kesulitan dalam pengadaan lahan.
"Kesulitan pengadaan lahan dan mahalnya biaya kompensasi pembebasan lahan tidak bisa dilepaskan dari kesenjangan kepemilikan lahan di Indonesia saat ini, khususnya antara pemilik modal dengan masyarakat," jelasnya. Tidak adanya batasan kepemilikan lahan oleh individu atau entitas badan usaha menyebabkan pesatnya kenaikan harga lahan sehingga makin lama makin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Kondisi tersebut, menurut Faisal, juga mengakibatkan sulitnya pembebasan lahan untuk pembangunan kepentingan publik oleh pemerintah seperti pembangunan infrastruktur dasar yang dibutuhkan untuk mendorong investasi.
Selain itu, dalam proses penggodokan RUU Cipta Kerja pun banyak elemen yang semestinya terlibat, tapi tidak dilibatkan, baik di kalangan pelaku usaha, masyarakat, pakar dan akademisi, bahkan elemen di dalam pemerintahan sendiri. "Jadi sangat bisa dipahami jika banyak pihak yang mempertanyakan substansi RUU. Apalagi pemerintah juga terkesan terburu-buru untuk meloloskan RUU Cipta Karya tersebut," katanya.
Terlebih lagi pada saat wabah Covid-19, upaya apa pun untuk menarik investasi termasuk melalui Omnibus Law tidak akan efektif jika penyebaran wabah belum dapat ditanggulangi. Oleh sebab itu, lanjutnya, pembahasan tentang RUU Cipta Kerja dalam kondisi seperti saat ini harus ditunda.
"Pemerintah perlu benar-benar fokus dalam upaya menghentikan penyebaran wabah Covid-19 sesegera mungkin dan memiminimalkan dampaknya terhadap perekonomian. Hal ini penting bukan untuk untuk pemulihan konsumsi masyarakat, penerimaan pemerintah, dan kinerja ekspor, tetapi juga untuk iklim investasi itu sendiri," kata Faisal.
Keterangan: Tulisan ini telah dikoreksi atas permintaan narasumber.