Senin 09 Mar 2020 06:17 WIB

Terpaksa Tinggal di Peti Kemas

Permukiman Kampung Sepatan berada di wilayah paling rendah.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Warga korban banjir beraktivitas saat mengungsi di dalam peti kemas kosong di Kampung Sepatan, Rorotan, Jakarta, Kamis (27/2).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga korban banjir beraktivitas saat mengungsi di dalam peti kemas kosong di Kampung Sepatan, Rorotan, Jakarta, Kamis (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Mendung dan Gerimis terus menyelimuti kawasan Rorotan, Jakarta Utara, ketika Republika berkunjung ke pengungsian banjir warga Kampung Sepatan, Jumat (28/2) lalu. Republika sempat kesulitan menemukan alamat kampung ini. Karena akses kawasan kampung ini terpisah dari jalur dengan perkampungan utama di Malaka I, Jalan Rorotan-Marunda.

Lokasi Kampung Sepatan ini terpisah, karena berada di pinggiran jalan nontol Cakung-Cilincing (Cacing) dekat dengan Cakung Drain-pergudangan depo peti kemas dan dipisah dengan area luas tanah perumahan elit Kirana Legacy. Untuk sampai masuk ke Kampung Sepatan harus melalui jalan nontol Cacing, melalui pintu masuk pergudangan atau gang kecil, Jalan Kampung Bedeng.

Jalan nontol Cacing, yang berada di sisi luar Tol Lingkar Luar Timur, dikenal padat lalu lalang kendaraan berpeti kemas dengan tonase besar. Menyusuri Jalan Kampung Bedeng, akan sampai ke belakang area peti kemas PT. Shika Mandiri Sejahtera (PT. SMS), hingga berada di area Kampung Sepatan. Di gudang peti kemas ini, Republika menemui posko pengungsian warga Kampung Sepatan.

Tumpukan peti kemas di kawasan ini jadi andalan warga berlindung di kala ancaman banjir datang. Memang kawasan Kampung Sepatan merupakan kawasan langganan banjir. Lokasi kampung yang dekat dengan Cakung Drain serta lebih rendah dari area pergudangan peti kemas menjadi penyebab banjir.

Petugas posko banjir di Kantor Kelurahan Rorotan, Rahmat ketika menunjukkan arah kawasan Kampung Sepatan mengakui, kawasan kampung itu merupakan area 'buangan air'. Dimana semua kawasan yang lebih tinggi seperti pergudangan peti kemas dan sistem drainasenya lebih bagus, seperti perumahan elit Kirana Legacy membuang air mereka ke Cakung Drain.

"Jadi kalau hujan lebat sedikit saja nih, Kampung Sepatan itu selalu banjir. Apalagi hujan ekstrim seperti kemarin. Warga di sana selalu mengungsi di pergudangan peti kemas terdekat. Karena tanahnya lebih tinggi dari kampung mereka," tutur Rahmat.

Sebenarnya, kata dia, ada dua area pengungsian untuk warga Kampung Sepatan. Pertama posko pengungsi Rorotan atas, yang berada di tenda dekat jalan inspeksi Cakung drainase. Serta posko pengungsian Rorotan bawah, yang berada di kawasan gudang peti kemas. Jumlah warga yang mengungsi di pergudangan peti kemas jumlahnya lebih banyak.

Hal itu diakui warga Kampung Sepatan, ketika Republika bertemu sebagian dari mereka yang masih berada di posko pengungsian peti kemas, usai banjir yang melanda pada 23-24 Februari lalu. Slamet Mulyono (76 tahun) warga Kampung Sepatan yang juga ketua posko pengungsian mengatakan, setidaknya ada 300-an orang di posko pengungsian peti kemas. Sedangkan yang di tenda kurang dari 200 orang.

Ia menuturkan, dalam dua bulan di 2020 ini, setidaknya sudah empat kali warga mengungsi di peti kemas tersebut. Walaupun sebagian banjir telah surut, namun tidak menentunya cuaca di musim penghujan membuat sebagian warga tetap memilih tinggal di peti kemas, termasuk Slamet Mulyono dan warga yang lanjut usia lain. "Ya ini sudah seperti rumah kedua kami," kata Slamet.

Slamet mengakui, selama 30 tahun tinggal di Kampung Sepatan ini, ia bersama keluarga memang selalu mengandalkan pergudangan peti kemas sebagai shelter atau tempat pengungsian. Ia mengenang, sejak awal tahun 2000-an, beberapa banjir besar saat itu bahkan membuat warga harus mengungsi di peti kemas hingga sebulan lamanya.

Pada banjir besar tahun 2002, contohnya, Slamet bersama 400-an warga Kampung Sepatan harus berjibaku bertahan di peti kemas selama beberapa pekan. "Yang paling parah pada 2007, saat itu belum ada penormalan sungai, jadi warga harus sampai sebulan tinggal di peti kemas," ujar dia.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada banjir 2013 dan banjir 2015, dimana warga juga berhari-hari mengungsi di peti kemas. Pada Januari hingga Februari 2020 kemarin, Slamet mengungkapkan setidaknya sudah lebih dari tiga kali ia harus bertahan di peti kemas.

Karena hujan turun yang sangat lebat, ditambah banjir kiriman dan naiknya air rob dari utara. Ia dan warga merasa beruntung karena pihak pemilik lahan dan pengelola PT. BCC (Bestindo Central Container), mengizinkan warga menempati peti kemas.

"Ini tidak dikunci, sejak dulu. Jadi kalau banjir warga sendiri yang masuk. Alhamdulillah diizinkan, selama kita enggak merusak," kata pria dengan 20 orang cucu ini.

Diakui dia, PT BCC memang tidak pernah menghalangi warga menggunakan container yang tidak terpakai ini sebagai tempat pengungsian. Setidaknya ada lebih dari 20 peti kemas yang digunakan warga untuk mengungsi pada banjir Januari-Februari lalu.

Slamet kini bersyukur perhatian pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terhadap mereka sudah jauh lebih baik. Mulai mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah bila banjir datang posko pengungsian ramai. Sebab selama ini, diakui dia, perjalanan hadirnya Kampung Sepatan tidak lepas dari pemukiman para pemulung sejak awal 1990-an.

Karena berasal dari kampung pemulung yang kerap dianggap ilegal, diakui Slamet sejak 1990 hingga akhir 2017 terkadang perhatian dan pelayanan pemerintah pun kurang. Namun sejak periode Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, ia mengaku merasa lebih diperhatikan. Bukan hanya soal bantuan logistik, tapi berbagai fasilitas pengungsian pun disediakan.

Warga yang bertugas sebagai menjaga kemanan posko, Nur Jaya (53 tahun) mengakui sejak banjir 2020 warga jadi lebih sering di kawasan peti kemas. Karena banjir yang terjadi tiap pekan membuat warga lebih memilih bertahan walau hujan reda dan banjir surut. "Sebagian kembali ke rumah hanya mengecek dan membersihkan rumah, kalau hujan ke sini lagi," kata dia.

Apalagi kini berbagai bantuan dari Pemerintah Kota Jakarta Utara disediakan di lokasi pengungsian. Mulai dari fasilitas MCK, air bersih hingga dua buah genset listrik dan lampu penerangan.

Tidak hanya itu, sumbangan dari warga Jakarta pun kini diakui dia lebih banyak berdatangan. Karena selama banjir, warga tidak bisa memasak sendiri, sedangkan fasilitas dapur tidak memadai. Sehingga selama banjir kemarin, warga mengandalkan pengantaran logistik dari warga dan pemerintah.

"Walaupun terkadang jumlahnya lebih sedikit, ya kita atur-atur saja biar semua warga kedapatan nasi dan bantuan," ujar Jaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement