REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suyanto memulai bisnis kerajinan tangan mosaik sejak tahun 2010 lalu. Bermula dari kejenuhan dirinya menjadi karyawan di perusahaan manufaktur, ia pamit sekitar medio 2010 dan memutuskan menjadi wirausaha mendirikan CV Surya Citra Mozaik. Meski berat, pria asli Yogyakarta ini optimistis bisa menghidupi diri dan keluarga dari usaha kerajinan mosaik.
Kerajinan tangan yang dihasilkan langsung dari tangan Suyanto ini terbilang unik. Aneka barang seperti bingkai foto, bingkai cermin, jam dinding, tempat minum, vas bunga, guci, pajangan lemari, hingga pahatan kaligrafi ia baluri dengan limbah kaca. Namun, bukan sembarang tempelan kaca. Potongan kaca beraneka bentuk dan warna disusun simetris hingga membentuk suatu mosaik yang berkesan.
Ia mengaku, awalnya hanya coba-coba menghias sebuah objek dengan limbah kaca. Suyanto berani mencoba karena ia punya bekal dasar kemampuan desain yang didapat saat bekerja di perusahaan sebelumnya.
Limbah kaca pun dipilih sebagai bahan untuk menyusun mosaik karena mudah didapat dan murah. Selain itu, limbah kaca juga kerap kali ditolak oleh pihak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga perlu dimanfaatkan menjadi barang bernilai. Saat itu, pikir dia, limbah kaca pasti bisa dimanfaatkan menjadi barang bernilai tinggi.
"TPA tidak mau menerima itu, pandangan masyarakat terhadap pecahan kaca pasti berbahaya. Lalu, kalau dibuang di sembarang tempat, pasti jadi masalah. Nah, kita ingin merubah itu," kata Suyanto saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.
Suyanto mengatakan, pada tahap awal pembuatan, ia merogoh kocek sebesar Rp 2 juta untuk membeli peralatan dasar. Seperti pemecah kaca dan amplas serta bahan baku lain yang menjadi media tempat limbah kaca disusun. Dua benda pertama yang ia baluri dengan seni mosaiknya, yakni bingkai kaca dan bingkai foto.
"Setelah jadi, ada teman-teman yang melihat. Mulailah ada permintaan. Lalu saya diminta membuat mosaik untuk benda dan model lainnya. Saya jawab bisa. Padahal, saya juga belum pernah buat, tapi harus tanggung jawab karena sudah janji," tegasnya.
Dari bingkai foto dan bingkai cermin, tak terasa hasil karya tangan Suyanto dari limbah kaca terus merambah ke berbagai jenis. Oleh sebab itu, semua hasil kerajinan tangan yang dihasilkan Surya Citra Mozaik memiliki sejarahnya masing-masing. Modal Suyanto utama adalah; keberanian untuk belajar otodidak.
Setelah hampir 10 tahun berjalan, Suyanto memfokuskan kerajinan tangan mosaik khusus untuk benda-benda fungsional dekorasi interior rumah. Hal itu dipilih karena amat banyak benda yang dapat dihiasi dengan seni mosaik kaca. Dan, lebih berguna sehingga mosaik kaca yang dibuat tak sekadar menjadi pajangan di lemari.
Ia bercerita, untuk membuat satu jenis produk setidaknya dibutuhkan waktu minimal tiga hari. Dimulai dari penyiapan kaca dan media tempel, penempelan dan pengeleman, pewarnaan, hingga pengeringan serta finalisasi agar aman digunakan.
Seluruh bahan yang digunakan, dipastikan Suyanto ramah lingkungan. Kaca yang telah disusun pun dipastikan aman sehingga tak akan melukai tangan. Soal kemanan dan kualitas menjadi prioritas Suyanto karena usahanya ingin merubah pandangan tentang limbah kaca. "Kita natural saja. Selama ini kita tidak gunakan bahan-bahan membahayakan," ujarnya.
Khusus untuk limbah kaca yang menjadi komponen utama, Suyanto telah menjalin hubungan dengan beberapa para pengrajin di sekitaran Yogyakarta. Seperti misalnya pengrajin pigura, aquarium, hingga etalase.
Untungnya, para pengrajin itu banyak yang tak mematok harga limbah kaca. Justru, tutur Suyanto, banyak dari mereka yang senang ketika ada yang mau mengambil limbah kacanya. Itu karena para pengrajin merasa kesulitan ketika ingin membuang sisa-sisa pecahan kaca dari proses produksi. Kata Suyanto, kerja sama itu layaknya simbiosis mutualisme antar pengrajin dan pengusaha kecil di Yogyakarta.
Kalaupun dihargai, katanya, limbah kaca dari para pengrajin sudah bisa dibeli dengan harga Rp 1.000 - Rp 3.000 per kilogram. Semakin tipis kaca, semakin mahal harganya. Ia menilai, ketersediaan limbah kaca di Yogyakarta cukup banyak sehingga tidak sulit untuk memenuhi kebutuhan kaca yang bakal ia proses menjadi mosaik.
"Sementara ini, limbah kaca di Jogja sudah cukup. Kita belum ambil limbah kaca dari daerah lain," tambahnya.
Soal tenaga kerja, Suyanto menjelaskan, belum memiliki tenaga kerja. Sementara ini, ia menjalankan usaha home industri dengan melibatkan istri dan anaknya. Sesekali, Suyanto mengundang anak-anak panti asuhan lembaga pendidikan Islam untuk dilatih membuat kerajinan mosaik dari kaca. Itu dilakukannya agar para santri memiliki keterampilan yang kelak diyakini bermanfaat.
Harga produk yang dihargai paling murah yakni seperti tatakan gelas aneka bentuk dan motif sebesar Rp 10 ribu per potong. Sementara, bingkai foto maupun cermin bisa dihargai hingga lebih dari Rp 200 ribu. Ia bercerita, juga pernah mendapatkan pesanan pembuatan pilar berhias mozaik kaca untuk latar belakang foto pernikahan pada 2014 silam. Hasil karyanya dibayar Rp 10 juta dan itu menjadi produk kerajinan tangan termahal yang pernah dibuatnya.
Hingga kini, usaha yang dirintis Suyanto bersama keluarganya itu telah mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Tak hanya dengan cara dipesan langsung, Suyanto kerap mendapatkan pesanan melalui media jejaring sosial untuk pemesan dari luar kota. Ia mengaku, keberadaan internet yang kian masif cukup membantu usahanya memperluas pasar.
Hanya saja, kata Suyanto, pendapatan dari usaha mozaik kaca sejauh ini cukup fluktuatif setiap bulannya. Sebab, kegiatan produksi sangat bergantung kepada pesanan. Ia tak menampik, kerap kali terdapat bulan-bulan dimana pesanan terus datang dan membuatnya kewalahan.
Tapi, tak jarang juga ada bulan-bulan yang hampir nihil pesanan. "Tapi, kalau di rata-rata pendapatan usaha ini yang penting sudah mencukupi kebutuhan keluarga untuk hidup di Yogyakarta. Bukan saya merahasiakan, tapi saya ingin memotivasi kepada siapapun untuk mau menekuni usaha kerajinan tangan. Modalnya, sabar dan tekun," kata dia.
Suyanto mengatakan, dirinya sangat terbuka kepada siapapun bagi yang ingin belajar mengenai seni mosaik kaca. Sebab, kata dia, selain menjalankan bisnis, ia ingin agar lebih banyak orang yang tahu mengenai seluk-beluk mosaik dari kaca.
Tak Bersaing dengan Barang Impor
Hampir satu dekade menekuni usaha kerajinan tangan, Suyanto menilai salah satu keuntungan dari bisnis mosaik kaca yakni tak bersaing dengan produk impor. Produk asli buatan industri rumahan lokal ini sangat jarang dijumpai di berbagai daerah. Itu karena ide kerajinan tangan muncul dari inovasi yang ia lahirkan sendiri.
Hal itu, kata Suyanto, setidaknya memberikan peluang bagi Surya Citra Mozaik untuk bisa menembus pasar ekspor. Meskipun untuk menuju kesana masih cukup panjang karena pasar dalam negeri amat luas.
"Saya beruntung, tidak perlu nervous ketika banyak barang impor," kata Suyanto.
Namun, terdapat dua kendala yang ia hadapi saat ini, yakni akses pasar dan ketersediaan modal. Akses pasar diakui Suyanto tidak mudah meski masih di dalam negeri. Hambatan itu dirasakan karena ia punya keterbatasan sumber daya untuk mempromosikan produknya.
Satu-satunya jalan untuk menjembatani masalah itu lewat pameran yang disediakan pemerintah. Suyanto menilai, fungsi pameran amat strategis sebagai wadah penjualan produk maupun promosi kepada publik. Produk mosaik karya Suyanto memang sudah punya kelebihan dengan tak bersaing dengan barang impor, tapi ia tetap membutuhkan dukungan akses pasar dalam negeri.
"Pemerintah agar bisa betul-betul mendukung kami dengan membuka seluas-luasnya pasar dalam negeri. Salah satu kebutuhan UMKM yang mendesak adalah promosi," ujar Suyanto.
Ke depan, Suyanto berharap pemerintah bisa lebih kuat dalam mendukung produk UMKM merambah pasar ekspor. Perwakilan-perwakilan pemerintah di luar negeri harus didorong untuk membantu perluasan pasar ekspor produk asli Indonsia. Apapun produknya, pemerintah wajib mendukung dan berupaya bersama untuk menerobos pasar internasional.
Sementara itu, soal akses modal, Suyanto mengaku cukup sulit karena banyaknya regulasi dan perizinan yang diterapkan. Harus diakui hal itu sering membingungkan para pelaku UMKM seperti dirinya.
"Harapan kita, pemerintah bisa mendukung betul keberadaan UMKM di Indonesia. Membuka seluas-luasnya pasar di dalam negeri, serta akses permodalan yang lebih mudah dengan bunga yang rendah," ujarnya.
Hal lain yang menjadi perhatian pelaku UMKM yakni soal pajak. Menurut dia, tidak masalah dengan besaran Pajak Penghasilan (PPH) UMKM saat ini yang dipatok sebesar 0,5 persen. Toh, nilai pajak akan mengikuti laba yang diperoleh.
Namun, kerap kali pelaku usaha mikro kecewa ketika pajak yang diserap oleh negara justru tidak digunakan secara tepat bahkan diselewengkan. Padahal, pelaku UMKM seperti Suyanto berharap agar pajak yang dibayarkan memberikan manfaat kembali kepada usaha yang ia jalankan.