Jumat 21 Feb 2020 07:41 WIB

Berikan Pelayanan di Selat Malaka, Ini Tantangan Pelindo III

Tantangannya menunjukkan pada dunia Indonesia mampu mengelola Selat Malaka

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Gita Amanda
Kapal perikanan asing (KIA) berbendera Malaysia berhasil ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) Selat Malaka (3/4).Sehari sebelumnya (2/4), KP. Hiu 011 berhasil menangkap 2 (dua) KIA Vietnam di Laut Natuna Utara Kepulauan Riau.
Foto: dok. KKP
Kapal perikanan asing (KIA) berbendera Malaysia berhasil ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) Selat Malaka (3/4).Sehari sebelumnya (2/4), KP. Hiu 011 berhasil menangkap 2 (dua) KIA Vietnam di Laut Natuna Utara Kepulauan Riau.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah menunjuk PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III melalui anak usahanya yakni Pelindo Marine Service untuk memberikan pelayanan jasa pemanduan dan penundaan kapal di Selat Malaka, Selat Phillip, dan Selat Singapura pada 18 Februari 2020. Kawasan perairan tersebut memiliki tantangan tersendiri.

Baca Juga

“Kawasan perairan tersebut dinyatakan sebagai wilayah perairan pandu luar biasa alur pelayaran Traffic Separation Scheme (TSS),” kata Direktur Teknik Pelindo III Joko Noerhudha, Jumat (21/2).

Sebab, di perairan tersebut berbatasan dengan negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura. Dengan begitu, Joko mengatakan Pelindo Marine Service akan menjadi ujung tombak pelayanan, sekaligus membawa perusahaan semakin mapan menggarap pasar internasional.

Dia mengapresiasi kinerja strategis Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub dan Kementerian Luar Negeri yang tidak hanya mengokohkan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia, tetapi juga membuka peluang pendapatan bagi industri maritim nasional. Joko menuturkan Pelindo III melalui Pelindo Marine Service akan semakin dipercaya oleh operator atau agen kapal-kapal internasional untuk menggunakan jasa pandu dan kapal tunda Indonesia dalam melayari Selat Malaka dan sekitarnya dengan aman dan selamat.

Kasubdit Pemanduan dan Penundaan Kapal Direktorat Kepelabuhanan Kemenhub Agus Arifianto mengatakan penujukan Pelindo III sangat penting karena pasar global semakin bersaing. “Layanan pemanduan perairan Selat Malaka harus dilaksanakan dengan pelayanan terbaik, sebagai penegasan untuk menjaga ketahanan dan suplai logistik Indonesia,” jelas Agus.

Sementara itu, Direktur Utama Pelindo Marine Service Eko Hariyadi Budiyant mengatakan peluang bisnis menggarap layanan pandu dan tunda di perairan tersebut telah dibahas bertahun-tahun oleh para negara panti atau The Littoral States. Forum negosiasi multilateral tersebut yaitu Forum Tripartite Technical Expert Group (TTEG) diikuti oleh Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

“Negosiasi mulai menemukan titik terang pada pertemuan Intersessional Meeting of The Working Group on Voluntary Pilotage Services in Straits of Malacca and Singapore di Bandung, awal 2017. Pertemuan ini digagas pada Forum TTEG ke-41 di Yogyakarta,” jelas Eko.

Eko mengakui persaingan cukup ketat, ada pilotage atau marine advisory oleh Malaysia dan Singapura. Padahal, lanjut Eko, sekitar 60 persen wilayah pelayaran tersebut merupakan wilayah Indonesia.

“Jadi itu tantangannya bahwa menunjukkan pada komunitas maritime internasional bahwa Indonesia mampu mengelola Selat Malaka. Layanan pilotage dan marine advisory yang dikerjakan oleh Pelindo Marine Service merupakan bagian dari rencana kerja Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan vessel traffic information system (di perairan Selat Malaka),” ungkap Eko.

Pengamat maritim Saut Gurning menuturkan dalam data Straitrep (2019) bahwa pada kurun waktu 2009-2019 arus kapal yang melalui Selat Malaka sekitar 60 ribu sampai 85 ribu unit pertahun. Saut menuturkan dari jumlah tersebut baru sekitar 300 kapal saja yang dilayani oleh Indonesia.

“Seharusnya kedepan bisa mencapai dua ribu sampai tiga ribu unit. Lebih strategis bagi Indonesia untuk melayani kapal-kapal besar, misalnya very large crude carrier atau tanker,” ujar Saut.

Saut menambahkan, dari jumlah 60 ribu kapal sampai 85 ribu kapal per tahun tersebut, nilai ekonominya mencapai Rp 45 triliun untuk layanan pandu saja. Bila ditotal dengan derivasinya, kata Saut, bisa mencapai Rp 360 triliun.

“Kenyataan tersebut seperti tidak terlihat oleh Indonesia, padahal sebenarnya sebagian besar melayari jalur di sisi eastbound (wilayah Indonesia) seperti dari Sumatra hingga Natuna,” ungkap Saut.

Saut menjelaskan saat ini realisasinya dari sekitar 80 ribu kapal, diperkirakan sekitar 70 persennya dilayani oleh Singapura karena memiliki pelabuhan. Untuk itu, Sat menegaskan pelabuhan interport di Indonesia harus terus dikembangkan, misalnya Kuala Tanjung.

“Bila hanya bermain di segmen hinterland (wilayah pendukung pelabuhan), porsi keuntungannya jauh. Seluruh stakeholder, baik pemerintah, BUMN, swasta harus bekerjasama untuk mengelola potensi Selat Malaka,” ungkap Saut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement