Rabu 12 Feb 2020 07:06 WIB

Pemerintah akan Bebaskan Pajak WNI di Luar Negeri

WNI yang tinggal lebih dari 183 hari di luar negeri ditetapkan sebagai SPLN.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Wajib pajak melaporkan SPT di Kantor Pajak Pratama Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019). WNI yang sudah tinggal di luar negeri atau menjadi diaspora selama lebih dari 183 hari akan ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN).
Foto: Republika/ Wihdan
Wajib pajak melaporkan SPT di Kantor Pajak Pratama Tebet, Jakarta, Jumat (29/3/2019). WNI yang sudah tinggal di luar negeri atau menjadi diaspora selama lebih dari 183 hari akan ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan membebaskan pajak kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang beraktivitas di luar negeri selama lebih dari enam bulan. Ketentuan ini tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan. 

Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Suryo Utomo menjelaskan, WNI yang sudah tinggal di luar negeri atau menjadi diaspora selama lebih dari 183 hari akan ditetapkan sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN). "Kita (pemerintah Indonesia) tidak akan mengenakan pajak penghasilan (PPh) kepada mereka," tuturnya dalam konferensi pers di Gedung DJP Kemenkeu, Jakarta, Selasa (11/2). 

Baca Juga

Selama ini, diaspora Indonesia masih masuk dalam kualifikasi subjek pajak dalam negeri. Dampaknya, penghasilan mereka di luar negeri masih dikenakan PPh untuk dalam negeri yang diserahkan kepada pemerintah. 

Melalui RUU Omnibus Law Perpajakan, Suryo mengatakan, diaspora mendapatkan kepastian mengenai perpajakan. Sebab, masih banyak di antara mereka yang masih bingung untuk membayar pajak. 

Suryo menjelaskan, regulasi tersebut akan diterapkan pada diaspora Indonesia yang kini tersebar di berbagai negara. "Banyak diaspora kita di Amerika Serikat, Timur Tengah, Asia Timur, kita berikan treatment di RUU ini," katanya. 

Tapi, ketentuan berbeda akan diberikan pada diaspora yang masih memiliki penghasilan dari dalam negeri. Suryo menjelaskan, mereka masih dikenakan pemotongan PPh pasal 26 dengan tarif 20 persen. 

Treatment serupa juga diberikan pada Warga Negara Asing (WNA) yang beraktivitas di Indonesia selama lebih dari 183 hari. Mereka akan dikenakan sebagai subjek pajak dalam negeri (SPDN), sehingga pemerintah berhak menarik PPh terhadap penghasilannya di Indonesia. Tapi, pemerintah tidak akan menarik PPh terhadap penghasilan luar negeri dari WNA tersebut.

Suryo mengatakan, kebijakan ini sesuai dengan prinsip pemerintah bahwa Indonesia masih membutuhkan ekspatriat berkeahlian khusus untuk transfer pemahaman ke tenaga kerja di Indonesia. "Kita berlakukan ketentuan ini empat tahun sejak dia tinggal di Indonesia," ucapnya. 

Poin mengenai penentuan WNI dan WNA sebagai subjek pajak diketahui menjadi satu dari 14 poin yang terbagi ke enam substansi di Omnibus Law Perpajakan. Tepatnya, dua poin ini tertulis dalam substansi ke-3, yakni penentuan subjek pajak orang pribadi. 

Suryo menuturkan, Kemenkeu akan membuat aturan turunan dari ketentuan tersebut jika beleid hukum Omnibus Law sudah resmi ditetapkan sebagai undang-undang. "Nanti kita definisikan lagi lewat Peraturan Menteri Keuangan," ujarnya.

Saat ini, RUU Omnibus Law perpajakan sudah diserahkan pemerintah kepada DPR sejak Jumat (31/1) bersama dengan naskah akademis dan surat presiden (Surpres) sebagai pengantar. Kini, pemerintah tinggal menunggu pembahasan selanjutnya dengan DPR. 

Secara spesifik, Suryo menekankan, Omnibus Law bertujuan untuk penguatan ekonomi Indonesia. Sudah dipahami, ekonomi Indonesia butuh dorongan untuk terus bisa meningkat dan berkembang. "Harapannya, pembangunan nasional juga dapat meningkat," katanya. 

Selain membahas WNI dan WNA, pemerintah pusat juga akan melakukan evaluasi terhadap peraturan daerah (perda) yang mengatur pajak dan retribusi daerah melalui Omnibus Law Perpajakan. Evaluasi dilakukan seiring dengan upaya pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan di tingkat daerah dengan kebijakan fiskal nasional. 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menjelaskan, evaluasi dilakukan Kemenkeu bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Tujuannya, mendorong investasi," tuturnya. 

Prima menjelaskan, saat ini, evaluasi perda dan raperda sebenarnya sudah dilakukan. Hanya saja, tingkat kepatuhan pemerintah daerah untuk menjalankan perda masih kurang baik. Oleh karena itu, pihaknya ingin mendorong agar instrumen daerah ini masuk ke dalam sistem yang akan dibangun bersama Kemenkeu dan Kemendagri. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement