REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah masih belum menetapkan tarif sertifikasi halal bagi Usaha, Mikro dan Kecil (UMK). Alhasil, ini membuat lambat penerapan kebijakan mandatori halal yang semestinya sudah dimulai Oktober 2019.
Komite Nasional Keuangan Syariah (KNK) menyatakan nantinya operasionalisasi sertifikasi halal akan dilakukan secara bertahap. “Nanti juga akan disesuaikan dengan kapasitas pemrosesan sertifikasi halal dengan prioritas yang perlu disepakati bersama,” ujar Direktur Eksekutif KNKS Ventje Raharjo ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (2/2).
Sementara Direktur Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah KNKS Afdhal Aliasar menambahkan pihaknya memastikan UMK tidak akan dibebani melalui sertifikasi halal.
“Kan sudah ada statement dari Kemenko Perekonomian dan juga bu menteri keuangan bahwa untuk mikro dan kecil tidak akan dibebani, sementara kita pegang ini dulu aja,” ujarnya ketika dihubungi.
Afdhal mengakui penetapan tarif sertifikasi halal tidak mudah karena menggulirkan pekerjaan besar besar, mengingat amanah Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Artinya, UU tersebut merupakan amanah untuk rakyat dalam memberikan layanan kebutuhan dan perlindungan masyarakatnya akan tersedianya produk halal.
“Namun semua hal ini jangan sampai membuat kita melangkah mundur. Nah kita semua harusnya sama-sama melangkah ke depan, apa dan bagaimana untuk bisa mewujudkan ini, tidak mudah memang, tapi inilah amanah masyarakat,” jelasnya.
KNKS pun menjanjikan dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan pihak Kemenko Perekonomian. Menurutnya, KNKS akan memberikan beberapa rekomendasi dan solusi strategis yang bisa diambil oleh pemerintah.
Ke depan, KNKS meminta pihak terkait dapat memberikan dukungan agar tarif sertifikasi halal segera ditetapkan. Langkah ini guna mengembangkan industri halal di Indonesia.