Jumat 17 Jan 2020 08:47 WIB

AS-Cina Sepakat Akhiri Perang Dagang

Perjanjian itu dibuat atas dasar kesetaraan dan saling menghormati.

Amerika Serikat dan Cina menandatangani kesepakatan perdagangan fase pertama yang diharapkan bisa mengakhiri perang dagang di antara kedua negara.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Amerika Serikat dan Cina menandatangani kesepakatan perdagangan fase pertama yang diharapkan bisa mengakhiri perang dagang di antara kedua negara.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) dan Cina akhirnya menandatangani kesepakatan fase pertama untuk mengakhiri perang dagang, Rabu (15/1). Perjanjian ini merupakan langkah awal untuk memulihkan hubungan ekonomi kedua negara yang telah mengguncang pasar ekonomi global. 'Rujuk' dua kekuatan ekonomi dunia tersebut sangat dinantikan negara-negara lain yang khawatir akan berlarutnya perang dagang AS-Cina.

"Hari ini, kami mengambil langkah penting menuju masa depan perdagangan yang adil dan timbal balik. Bersama-sama kita memperbaiki kesalahan masa lalu. Ini adalah kesepakatan terbesar," ujar Presiden AS Donald Trump, dilansir Guardian, Kamis (16/1).

Baca Juga

Trump dan Wakil Perdana Menteri Cina Liu He menandatangani kesepakatan itu di East Room, Gedung Putih. Penandatanganan dihadiri para kabinet Trump, anggota parlemen, serta sejumlah pemimpin media dan bisnis. Liu membacakan surat dari Presiden Cina Xi Jinping terkait kesepakatan fase pertama ini.

Pada fase pertama kesepakatan ini, Cina berkomitmen untuk meningkatkan impor dari AS senilai 200 miliar dolar AS, termasuk meningkatkan pembelian di sektor pertanian sebesar 32 miliar dolar AS, manufaktur 78 miliar dolar AS, energi 52 miliar dolar AS, dan jasa 38 miliar dolar AS. Cina juga sepakat mengambil tindakan terhadap pemalsuan dan melakukan tindakan hukum atas pencurian hak kekayaan intelektual.

Sementara itu, AS akan mempertahankan tarif hingga 25 persen untuk barang-barang impor dari Cina yang diperkirakan bernilai 360 miliar dolar AS. Di sisi lain, Cina diperkirakan akan mempertahankan sebagian besar tarif baru atas produk-produk AS senilai 100 miliar dolar AS.

AS dan Cina telah terlibat dalam perang dagang sejak 2018 yang menyebabkan dikenakannya pajak impor tambahan atas barang-barang yang diperdagangkan senilai lebih dari 450 miliar dolar AS. Perselisihan dua kekuatan ekonomi dunia itu telah menganggu mata rantai perdagangan global dan mengkhawatirkan investor. Bursa saham AS mencapai rekor tertinggi setelah penandatanganan perjanjian.

Liu mengatakan, perjanjian itu dibuat atas dasar kesetaraan dan saling menghormati. Menurut dia, Cina telah mengembangkan sistem politik dan model pembangunan ekonomi yang sesuai dengan realitas nasional.

"Ini tidak berarti bahwa Cina dan AS tidak dapat bekerja sama. Sebaliknya, kedua negara kami memiliki kepentingan komersial yang sangat besar. Kami berharap kedua belah pihak akan mematuhi dan menjaga perjanjian dengan sungguh-sungguh," ujar Liu, dilansir BBC.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyebut kesepakatan fase pertama sebagai perjanjian yang signifikan. Dia mengatakan, pemerintahan Trump dapat memberikan tarif tambahan jika Cina tidak mematuhi perjanjian pada tahap satu. Pemerintah AS menyatakan, tarif akan tetap berlaku hingga kesepakatan fase dua ditandatangani.

"Ini memberi Cina insentif besar untuk kembali ke meja perundingan dan menyetujui masalah tambahan yang masih belum terselesaikan," kata Mnuchin kepada CNBC.

Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer mengatakan, pemerintah fokus pada implementasi perjanjian fase satu untuk jangka pendek. Menurut dia, implementasi pada tahap pertama ini dapat berlangsung hingga musim semi 2020.

Sejumlah pebisnis menyambut baik kesepakatan yang telah diraih antara AS dan Cina. Namun, para pebisnis menilai kesepakatan tersebut masih belum jelas arahnya. Kamar Dagang dan Industri AS mengatakan, sangat penting bagi kedua pihak untuk segera memulai negosiasi pada tahap dua.

"Pekerjaan belum selesai. Perjanjian fase satu harus segera diikuti dengan negosiasi fase kedua untuk membahas masalah-masalah yang tersisa," ujar Kepala Dewan Bisnis AS-Cina, Craig Allen, dilansir Bloomberg.

Perusahaan-perusahaan AS telah membayar tarif 46 miliar dolar AS sejak Trump mulai merestrukturisasi hubungan dengan hampir semua mitra dagang utama Washington. Trump sempat bilang tarif dibayar oleh negara-negara tempat mereka dikenakan pajak, tetapi para ekonom dan bisnis AS mengatakan mereka menanggung beban biaya paling besar.

Amerika untuk Perdagangan Bebas, sebuah koalisi lebih dari 150 asosiasi bisnis yang menentang tarif, menyatakan, kesepakatan perdagangan fase pertama tidak akan banyak membantu meringankan beban miliaran dolar AS dalam tarif yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan AS. "Sebagian besar tarif--yang merupakan pajak yang dibayar oleh orang Amerika dan bukan Cina--akan tetap berlaku, terus merusak ekonomi Amerika," kata juru bicara asosiasi, Jonathan Gold.

Media Pemerintah Cina menyambut kesepakatan perdagangan fase satu dengan optimisme, namun tetap berhati-hati dalam implementasinya. Tajuk rencana Global Times yang berbahasa Inggris menuliskan, perjanjian tersebut adalah paradoks yang membuat banyak orang khawatir.

Efek bagi RI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kesepakatan perdagangan awal yang ditandatangani AS dan Cina akan memberikan kepastian kepada ekonomi global setelah selama beberapa bulan terjadi perang dagang. "Kalau agreement ini bisa bertahan, ini merupakan suatu langkah awal yang baik," kata Sri Mulyani Indrawati setelah menghadiri Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020 di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, kesepakatan dua ekonomi besar dunia itu diharapkan mengakhiri ketidakpastian yang selama ini terjadi begitu tinggi. Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu juga berharap agar kesepakatan dagang awal itu berkelanjutan, sehingga keadaan ekonomi dunia berubah positif.

Bank Indonesia (BI) menyatakan ada potensi neraca perdagangan Indonesia pada 2020 akan berbalik menjadi surplus sejalan dengan penyempitan defisit yang terjadi pada akhir 2019. Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, kinerja perdagangan menunjukkan perbaikan drastis.

Dia optimistis penyempitan defisit neraca perdagangan pada akhir 2019 akan berlanjut sepanjang 2020 seiring tekanan ekonomi global yang kian mereda. Pada akhir 2019, defisit neraca perdagangan menurun menjadi 3 miliar dolar AS dibandingkan 2018 yang sebesar 8,3 miliar dolar AS.

"Karena berkurangnya defisit neraca perdagangan cukup besar dari 8,70 miliar dolar AS menjadi pada kisaran 3 miliar dolar AS," kata Dody.

Dody berharap kondisi perekonomian global mengalami perbaikan dalam beberapa waktu ke depan untuk membantu mengerek harga komoditas. Penguatan nilai neraca perdagangan akan membantu memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit) dari kisaran 2,5 persen hingga 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) serta menjaga nilai tukar rupiah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan sepanjang 2019 mengalami defisit 3,20 miliar dolar AS. Defisit tersebut terjadi seiring dengan kinerja ekspor sepanjang 2019 yang mencapai 167,53 miliar dolar AS atau lebih rendah dibandingkan dengan kinerja impor yang mencapai 170,72 miliar dolar AS.

Selama Desember 2019 neraca perdagangan mengalami defisit 0,03 miliar dolar AS atau jauh lebih rendah dibandingkan defisit pada November 2019 sebesar 1,39 miliar dolar AS. n rizky jaramaya/antara ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement