REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi Beik mengapresiasi keputusan pemerintah yang akan memberikan sertifikasi gratis bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Hanya saja untuk mewujudkannya, kata dia, diperlukan dukungan dari sisi pembiayaan.
"Seperti yang saya prediksi juga, tentu nanti akan bingungkan, diperlukan support dari sisi pembiayaan. Hal itu karena sertifikasi halal ada proses. Nah proses-proses ini perlu biaya," ujar Irfan kepada Republika, Ahad, (12/1).
Menurutnya, ada beberapa sumber pembiayaan yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai subsidi sertifikasi halal UMK. Pertama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Jadi APBD provinsi, kabupaten atau kota bisa didorong dan diwajibkan anggarkan biaya sertifikasi halal. Katakan itu jadi bagian dari anggarannya Dinas Perindag atau Dinas Koperasi dan UKM.
Hanya saja, lanjut dia, instrumen ini memiliki kelemahan, yakni tidak bisa langsung diimplementasikan. Sebab, agak sulit bila baru dianggarkan pada 2020, kecuali lewat APBD Perubahan atau mulai dianggarkan untuk 2021.
Sumber kedua, ujarnya, dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan besar. "Jadi CSR perusahaan besar bisa dipakai biayai sertifikasi halal. Pemerintah bisa kemudian dorong itu, karena Undang-Undang (UU) CSR sifatnya mandatory yang harus dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan," jelas Irfan.
Sumber ketiga, kata dia, bisa dari zakat. Hanya saja sasarannya harus pelaku usaha mikro yang dimiliki masyarakat. "Karena usaha mikro itu insya Allah masuk dalam kategori mustahik," ujar dia.
Ia menambahkan, pendanaan lewat zakat harus sejalan dengan proses pendayagunaan zakat yang dilakukan. Sebab jika tidak sejalan, nantinya ada kesulitan dari sisi lembaga zakatnya.
"Keempat, pendanaan bisa dari wakaf. Di sini UMK menjadi mauquf alaih dari alokasi atau hasil investasi dari aset wakaf yang ada. Ini mesti kita dorong," ujar Irfan.
Meski begitu, tuturnya, keempat sumber pembiayaan di atas tidak cukup membiayai subsidi sertifikasi halal UMK. Alasannya, jumlah yang harus disertifikasi sangat banyak.
"Kapasitas (pembiayaan) itu sangat belum memungkinkan, hari ini jumlah UMK mencapai jutaan sehingga yang disertifikasi banyak. Maka perlu solusi alternatif," kata Irfan.
Ia menjelaskan, ada beberapa solusi selain mengajukan sertifikasi halal. Di antaranya, opsi Halal Friendly. "Saya kira konsep halal friendly ini menjadi, salah satu alternatif. Jadi kalau pun nggak ada proses sertifkasi tapi pelaku usaha bisa lakukan self claim atau klaim sepihak," jelasnya.
Namun ketika otoritas melakukan operasi pengawasan, lalu klaim pelaku usaha bersangkutan terbukti keliru, pengusaha harus siap mendapat konsekuensi hukum tegas. "Saya kira ini jalan keluarnya," ujar Irfan.