REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom INDEF, Dradjad Wibowo mengatakan besarnya “gagal target” (shortfall) pajak tahun 2019 ini, bukan hanya dampak dari lemahnya ekonomi 2019. Tapi juga dampak dari kebijakan tim ekonomi pemerintah sejak 2014/2015.
Hemat saya, ada beberapa hal yang paling krusial yang penyebab kan “gagal-target” pajak,” kata Dradjad dalam perbincangan dengan Republika.co.id, Rabu (1/1).
Pertama, menurut Dradjad, tim ekonomi pemerintah menyedot dana dari rumah tangga (rakyat) melalui penghapusan subsidi BBM, tanpa dikompensasi dengan program yang efektif menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Akibatnya, daya beli tertekan dan mengganggu konsumsi rumah tangga. Padahal konsumsi adalah lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, dana tersebut dipakai untuk membiayai infrastruktur yang padat modal. "Terjadilah pengaliran dana dari konsumsi yang bagus untuk sektor padat karya ke sektor yang padat modal,” ungkap politikus senior PAN ini.
Resultan dari semua itu, menurut Dradjad, pertumbuhan ekonomi stagnan bahkan sempat jatuh di bawah 5 persen sejak 2014/15. "Sebagai catatan, saya sudah lama sangsi dengan data pertumbuhan di atas 5 persen. Alasannya, data tersebut tidak klop dengan realitas di pasar. Saya sempat dituduh bias. Tapi setelah Capital Economics juga menyangsikan, orang ikut meragukan data BPS,” paparnya.
Dengan pertumbuhan yang lemah, otomatis penerimaan pajak juga sulit mencapai target. Akibatnya terjadilah gagal-target pajak.
Kedua, lanjut Dradjad, implemetasi tax amnesty (TA) yang keliru. Dradjad mengaku kalau untuk TA-nya dia mendukung. Bahkan jika perlu, dibuat TA ketiga (terakhir). “Tapi dijalankan dengan benar,” kata dia.
Mengenai kekeliruan TA, Dradjad menyebut terutama dalam sosialisasinya. Baik dalam cara sosialisasi maupun isi pernyataan yang disampaikan ke publik.
Akibatnya, kata Dradjad, masih banyak orang yang takut dan salah pengertian, sehingga tidak ikut TA. Bahkan yang ikut pun banyak yang mengeluh karena merasa terjebak. Yang lebih berat, sektor seperti properti jadi terpukul karena orang takut dikejar pajak jika mereka berinvestasi banyak di properti. Padahal properti itu sangat menolong sektor hulunya, mulai dari bahan bangunan sampai tukang.
Hal ketiga, menurut Dradjad, memang kondisi ekonomi 2019 termasuk sangat berat. Baik karena faktor global, maupun karena kurang memadainya kebijakan ekonomi untuk mengompensasi dampak faktor global.
"Itulah yang menyebabkan gagal-target pajak yang super besar tahun ini. Tahun 2020 pun prospek pajak juga buram,” kata anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) PAN ini.
Tiga faktor di atas, kata Dradjad, menunjukkan kinerja jelek dari tim ekonomi Presiden Jokowi 2014-2019. "Pertanyaannya, kenapa Presiden masih memakai sebagian dari mereka? Aneh kan?” kata Dradjad.