REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC berkomitmen untuk memberantas semua bentuk pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli. IPC tidak akan mentolerir pelanggaran terutama yang bertujuan mencari keuntungan pribadi oleh oknum petugas di lingkungan pelabuhan.
“Jika ditemukan bukti pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli oleh oknum di pelabuhan, maka IPC, dan saya yakin semua instansi pemerintah maupun swasta di lingkungan pelabuhan akan memberikan tindakan keras, dan mendorong untuk diproses sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang ada,” tutur Direktur Utama IPC, Elvyn G. Masassya berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (26/12).
Elvyn mengatakan, saat ini IPC sedang fokus mewujudkan misi korporasi menjadi pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan. IPC berkepentingan memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah dan efisien, untuk memajukan sektor logistik di Tanah Air.
Sesuai dengan misi pemerintah menurunkan biaya logistik, ucap Elvyn, IPC siap memberikan pelayanan yang mudah, transparan dan akuntabel bagi semua pengguna jasa dan pelanggan. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi orang atau oknum tertentu di pelabuhan melakukan pelanggaran, termasuk pungli.
“Sekarang semua aktivitas dan operasional di pelabuhan, terutama di Tanjung Priok termonitor secara digital. Salah satu tujuan semua ini adalah supaya tidak terjadi ekonomi biaya tinggi yang menambah beban biaya logistik secara keseluruhan,” katanya.
Sementara itu, Direktur The National Maritime Institute (Namarim), Siswanto Rusdi mengatakan, saat ini pungli memang sulit ditemukan di lapangan, terutama di terminal-terminal Pelabuhan Tanjung Priok. Digitalisasi yang dimulai dari penerapan Autogate System di gerbang pelabuhan tak lagi memungkinkan terjadinya interaksi pembayaran tunai oleh pengguna jasa dan konsumen.
Meski demikian, menurutnya, ada banyak faktor mengapa biaya logistik masih tinggi. Potensi biaya siluman bisa tersebar di seluruh stakeholder pelabuhan, mengingat di sana ada 18 instansi yang berperan sebagai regulator maupun operator.
“Tingginya biaya logistik tak lepas dari tingginya pergerakan peti kemas. Ada aturan Kemenhub misalnya, bahwa dalam waktu tiga hari, selesai atau tidak pengurusan dokumen, peti kemas harus keluar ke Pusat Logistik Berikat (PLB). Kemudian PLB banyak di bangun setelah isu dweling time bergulir pada tahun 2014 -2019. Nah, keberadaan PLB ini dimotori oleh teman-teman di Bea dan Cukai,” ujarnya.
Siswanto menjelaskan, dalam sistem kepelabuhanan di Indonesia, ada institusi dengan fungsi dan kewenangan yang signifikan, yaitu Otoritas Pelabuhan. Instansi di bawah Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan ini hadir tak lama setelah UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disahkan. Instansi ini ada di empat pelabuhan utama, yakni di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak dan Makassar.
Keberadaannya signifikan karena Otoritas Pelabuhan (OP) mewakili pemerintah sebagai regulator yang sebelumnya dipegang oleh PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo. Dengan kewenangannya, OP mengatur penyewaan lahan pelabuhan berikut infrastruktur lainnya.
Masalah lain yang penting untuk diselesaikan, lanjut Siswanto, adalah keberadaan fasilitas aparat keamanan, yang berpotensi dimanfaatkan untuk kebutuhan lain di luar dari tugas pokoknya. Selain itu, aksi premanisme terorganisir juga masih marak di luar area pelabuhan.“Kalau semua ini dibereskan, maka ada harapan biaya logistik bisa ditekan,” tuturnya.