Rabu 25 Dec 2019 17:03 WIB

Teten Berencana Hidupkan Kembali Koperasi Susu di Tanah Air

Saat ini kebutuhan susu di Tanah Air masih dipenuhi dari impor.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Peternak menuangkan susu sapi perahan di kawasan peternakan sapi (foto ilustrasi).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Peternak menuangkan susu sapi perahan di kawasan peternakan sapi (foto ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menegaskan, keberadaan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) sebagai koperasi di sektor riil layak untuk dikembangkan. Ia pun telah mendiskusikan itu dengan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI).

"Dan sudah memetakan problem-problem untuk membangkitkan kembali koperasi susu di Indonesia," ujar Teten melalui siaran pers yang diterima Republika.co.id pada Rabu, (25/12).

Baca Juga

Ia menyebutkan, masalah pertama, ada kebutuhan untuk peremajaan indukan sapi yang berkualitas, agar produktifitas petani meningkat.

Kedua, masalah kebutuhan lahan untuk pakan ternak. Ketiga, terkait pembiayaan.

"Saya akan berkoordinasi dengan beberapa kementerian. Terutama demi mengakses lahan milik PTPN sebagai lahan pakan ternak, juga koordinasi dengan kementerian lain menyangkut impor indukan, dan sebagainya," kata Teten.

Kementerian Koperasi (Kemenkop), lanjutnya, akan menggandeng Kementerian Pertanian (Kementan) agar bisa memproduksi susu. Laku bersinergi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) supaya anak-anak sekolah secara berkala mengonsumsi susu demi mengurangi stunting.

Kemenkop pun akan bekerja sama dengan Kementerian BUMN supaya bisa memanfaatkan lahan-lahan nganggur. Sementara untuk dukungan pembiayaan, Kemenkop memiliki LPDB KUMKM.

Maka bagi Teten, soal pembiayaan sudah tidak ada masalah. Pasalnya, saat ini ada Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus peternak berjangka waktu lebih panjang. "Kita sudah ada itu, dan saya pikir sudah tidak menjadi masalah lagi," katanya.

Teten menambahkan, konsumsi susu rakyat Indonesia sebesar 8 juta liter, sementara produksi baru 1,5 juta liter. Artinya, kebutuhan susu nasional didominasi susu impor.

"Sektor persusuan nasional harus menjadi satu kebijakan secara nasional. Sesuai arahan Presiden RI, kita harus fokus di sektor produksi terutama yang berorientasi ekspor dan substitusi impor," tutur dia.

Sebelumnya, dalam diskusi di kantor Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Barat, Teten menyatakan, bangkitnya koperasi susu sangat diharapkan demi menguatkan ekonomi rakyat. Apalagi dalam 10 tahun ke depan Indonesia menghadapi bonus demografi yaitu kondisi proporsi jumlah penduduk usia produktif terbesar dalam piramida penduduk Indonesia.

"Peningkatan jumlah penduduk disertai dengan peningkatan permintaan masyarakat akan bahan pangan termasuk di dalamnya produk susu dan olahannya. Ini akan menjadi momentum bagi para peternak untuk terus meningkatkan produksinya guna memenuhi kebutuhan susu nasional tanpa bergantung pada produk impor," kata Teten.

Maka Teten kembali menegaskan, perlu adanya kerjasama lintas sektor untuk memanfaatkan lahan perhutanan sosial untuk hijauan. Termasuk kerja sama dengan industri tepung untuk pengadaan weat pollard sebagai bahan baku konsentrat dan peningkatan mutu genetik melalui pengadaan sapi perah impor dengan skema pembiayaan KUR khusus peternakan.

"Ke depan peternak akan semakin sejahtera. Hal itu karena kebutuhan sapi, domba, kambing makin banyak," tegasnya.

Pengurus GKSI Unang Sudarma menambahkan, minum susu merupakan cara paling mudah meningkatkan gizi sebab susu makanan paling mudah dicerna. Maka dirinya berharap agar berbagai kendala terkait produksi susu segera diatasi.

Kendala itu meliputi pengadaan populasi bibit sapi perah dan kurangan modal. "Yang lebih penting juga bagaimana agar generasi milenial tertarik menjadi peternak sapi. Kini, usaha sapi perah menjadi usaha yang cukup menarik dengan menggunakan tekhnologi, tidak lagi terkesan kotor, kumuh dan kampungan," tutur Unang.

Direktur Utama PT Industri Susu Alam Murni Yusuf Munawar sepakat, bila peternak susu dikelola koperasi akan menurunkan biaya produksi hingga 25 persen. "Kapasitas produksi 200 ton, dan saat ini baru dimanfaatkan 75 persen. Jadi kami masih bisa memproduksi susu lebih banyak lagi jika bahan baku susunya tersedia," ujar dia.

Peneliti dari Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran Andre R Daud turut mengungkapkan permasalahan industri susu. Ia menyebutkan, produksi susu mengalami penurunan, harga produk rendah tapi biaya produksi tinggi.

Menurutnya, perlu ada upaya menurunkan biaya produksi peternak sapi perah. Ia menyarankan, untuk memperluas pemasaran, jangan hanya menjual bahan baku susu, namun bisa menjadi penyedia bahan diolah atau susu olahan.

Dalam hal ini, ujarnya, kerja sama dengan Kementan sangat diharapkan, "Saya berharap Kemenkop sebagai bapaknya yang mencari dananya, Kementan sebagai ibunya yang mengelola industrinya," kata Andre.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement