REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui bahwa kasus gagal bayar polis asuransi oleh PT Asuransi Jiwasraya (persero) bukan perkara ringan. Presiden melihat bahwa persoalan keuangan yang membelit Jiwasraya sebetulnya mulai terjadi sekitar 10 tahun lalu. Namun, dalam tiga tahun ini kondisinya memburuk dan pemerintah berkomitmen untuk mencarikan solusinya.
"Ini bukan masalah ringan. Namun, setelah pelantikan, Pak Menteri BUMN, kemarin kita sudah rapat dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Gambaran solusinya sudah ada. Masih dalam proses," ujar Jokowi di Balikpapan, Rabu (18/12) pagi.
Jokowi menyerahkan indikasi adanya tindak kriminal dalam pengelolaan Jiwasraya kepada kepolisian. Hal ini sejalan dengan rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk melibatkan aparat penegak hukum dalam mengusut pengelolaan keuangan di internal Jiwasraya.
"Yang berkaitan dengan hukum, ya ranahnya sudah masuk kriminal, sudah masuk ke ranah hukum," kata Jokowi.
Sementara, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menambahkan, pemerintah mulai menyusun langkah penyelamatan Jiwasraya dengan melakukan resuktrurisasi. Ia menyampaikan, upaya restrukturisasi terhadap perusahaan pelat merah yang mengurusi asuransi ini sebetulnya sudah berjalan 10 tahun. Namun, ia tak menampik prosesnya memang cukup panjang untuk betul-betul mencapai hasil.
"Insya Allah dalam enam bulan ini kita coba siapkan solusi-solusi yang salah satunya diawali dengan membentuk holdingisasi pada perusahaan asuransi," kata Erick.
Langkah pembuatan induk BUMN asuransi diharapkan mampu menjaga arus kas Jiwasraya dan memberi napas kepada perusahaan untuk membayarkan polis. Namun, Erick sendiri menegaskan, proses restrukturisasi Jiwasraya belum akan rampung dalam waktu singkat.
"Prosesnya pasti berjalan," katanya.
Diberitakan sebelumnya, PT Jiwasraya (Persero) dilaporkan mengalami gagal bayar terhadap polis asuransi. Jiwasraya harus mengantongi kerugian hingga September 2019 ini sebesar Rp 23 triliun. Salah satu harapan perusahaan tidak gulung tikar dalam waktu dekat adalah kepercayaan nasabah.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengakui, mayoritas nasabah saat ini adalah korporasi BUMN yang menjaminkan pensiunan pada Jiwasraya. Ia menjelaskan, para nasabah inilah yang membuat perusahaan masih bisa bertahan hingga saat ini.
Hexana mengakui salah satu penyebab perusahaan gagal membayar polis kepada para nasabahnya adalah kesalahan strategi dalam berinvestasi. Hexana menjelaskan, kesalahan strategi adalah penempatan usaha yang semestinya mayoritas ditempatkan ke goverment bond malah dimasukkan dalam skema investasi reksa dana saham.
Berdasarkan rencana panjang perseroan, seharusnya goverment bond menjadi instrumen investasi paling besar, yaitu sebesar 30 persen. Termasuk juga obligasi korporasi non-BUMN, instrumen Bank Indonesia (BI) 30 persen.
Sementara instrumen investasi saham, reksa dana maksimum hanya 20 persen. Terakhir deposito minimum 10 persen.
Hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan pelat merah ini. Bahkan, dalam fakta yang dipaparkan per 2018, perseroan telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen.
Sementara di instrumen obligasi pemerintah, instrumen BI masing-masing sekitar 15 persen. Selanjutnya perusahaan investasi di properti sekitar 20 persen. Lalu deposito sekitar 5 persen.