Senin 16 Dec 2019 14:26 WIB

Rugi Triliunan Rupiah, Nasib Jiwasraya di Ujung Tanduk

Kini, Jiwasraya hanya menggantungkan nasib pada kepercayaan nasabah.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Seorang teller melayani nasabah di kantor pelayanan Jiwasraya.
Foto: dok. Republika
Seorang teller melayani nasabah di kantor pelayanan Jiwasraya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Jiwasraya (Persero) harus mengantongi kerugian hingga September 2019 ini sebesar Rp 23 triliun. Salah satu harapan perusahaan tidak gulung tikar dalam waktu dekat adalah kepercayaan nasabah.

Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengakui, mayoritas nasabah saat ini adalah korporasi BUMN yang menjaminkan pensiunan pada Jiwasraya. Ia menjelaskan, para nasabah inilah yang membuat perusahaan masih bisa bertahan hingga saat ini.

Baca Juga

"Salah satu penyelamat kami karena nasabah adalah BUMN. Kalau mereka trust, tapi satu demi satu mereka rush, ya ini akan bubar," ujar Hexana di Komisi VI DPR RI, Senin (16/12).

Ia menjelaskan, 24 persen dari nasabah yang ada memutuskan untuk me-rollover polisnya sampai perusahaan bisa membayarkan polis. Sedangkan, sebagian kecilnya juga masih menanti perusahaan menyelesaikan persoalan kerugian ini.

Hexana mengakui salah satu penyebab perusahaan gagal membayar polis kepada para nasabahnya adalah kesalahan strategi dalam berinvestasi. Hexana menjelaskan, kesalahan strategi adalah penempatan usaha yang semestinya mayoritas ditempatkan ke goverment bond malah dimasukkan dalam skema investasi reksa dana saham.

Berdasarkan rencana panjang perseroan, seharusnya goverment bond menjadi instrumen investasi paling besar, yaitu sebesar 30 persen. Termasuk juga obligasi korporasi non-BUMN, instrumen Bank Indonesia (BI) 30 persen.

Sementara instrumen investasi saham, reksa dana maksimum hanya 20 persen. Terakhir deposito minimum 10 persen.

Hal ini berbanding terbalik dengan fakta yang saat ini terjadi di tubuh perusahaan pelat merah ini. Bahkan, dalam fakta yang dipaparkan per 2018, perseroan telah menanamkan investasi saham lebih dari 50 persen.

Sementara di instrumen obligasi pemerintah, instrumen BI masing-masing sekitar 15 persen. Selanjutnya perusahaan investasi di properti sekitar 20 persen. Lalu deposito sekitar 5 persen.

"Lalu yang kedua, penempatan premi di luar kehati-hatian. Investasi digeser ke reksa dana saham. Sebab, kalau pakai goverment bond, itu nggak akan pernah ngejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan pencadanngan saham. Pola penetrasinya nggak akan mencapai segitu," ujar Hexana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement