Kamis 12 Dec 2019 19:07 WIB

Perluas Pasar, Pengusaha Tuna Cakalang Kejar Sertifikasi

Harga tuna cakalang saat ini sudah mencapai 850 dolar AS per ton.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Nelayan Larantuka memancing ikan Cakalang di perairan Flores, NTT
Foto: Prayogi/Republika
Nelayan Larantuka memancing ikan Cakalang di perairan Flores, NTT

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Industri perikanan tuna cakalang tengah meningkatkan program sertifikasi untuk meningkatkan kinerja ekspor. Upaya ini dilakukan untuk memperluas pasar ekspor yang kini masih terbatas pada negara Asia seperti Vietnam dan Filipina. 

General Manager Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) Abdul Muis Sulaiman mengatakan, saat ini, Indonesia banyak tergantung pada pasar tradisional di Asia. Dampaknya, ketika tingkat permintaan mereka menurun, pukulan terhadap industri lokal menjadi signifikan. "Makanya kami berupaya untuk perluas ke Amerika dan Uni Eropa," ujarnya ketika ditemui di acara Workshop Perikanan Berkelanjutan di Badung, Bali, Kamis (12/12). 

Muis memberikan contoh kondisi saat ini. Menurutnya, harga tuna cakalang saat ini sudah berada di level 850 dolar AS per ton. Angka tersebut turun signifikan dibandingkan dua tahun lalu yang masih berada pada level 2.300 dolar AS per ton. 

Rendahnya harga tersebut disebabkan stok yang masih melimpah di tingkat nelayan. Kondisi serupa juga terjadi di Bangkok, Thailand, yang menjadi benchmark bagi harga jual tuna cakalang banyak negara, termasuk Indonesia. "Bahkan, banyak truk yang mengantri di cold storage sana karena menunggu permintaan," ucap Muis. 

Sebenarnya, pihak internasional sudah membuat peraturan untuk membatasi tingkat penangkapan tuna cakalang, yaitu pada Juni hingga September. Hanya saja, Muis menilai, regulasi ini tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap harga jual. 

Bahkan, menurut Muis, pelaku usaha di Indonesia maupun Asia Pasifik kini hanya memiliki dua pilihan dalam menjalankan bisnisnya. Yaitu, mau rugi sedikit atau rugi banyak. "Mereka tetap harus menjual, dengan kondisi yang merugi karena nelayan kan tiap hari melaut," katanya. 

Muis mengakui, kondisi ini mengkhawatirkan apabila terjadi dalam jangka panjang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah memperluas pangsa pasar. Khususnya ke Amerika dan Eropa yang tidak memproduksi ikan, sehingga harus mengimpor komoditas dari negara lain. 

Untuk mencapai dua pasar besar itu, industri perikanan tuna cakalang di Indonesia sudah mempersiapkan diri dengan sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) atau standar untuk perikanan berkelanjutan. Artinya, ketika sebuah perusahaan sudah mendapatkan MSC, rantai pasok mereka dipastikan telah menerapkan konsep berkelanjutan. 

Muis menjelaskan, sertifikasi dibutuhkan untuk menembus pasar baru mengingat konsumen di Eropa dan Amerika kini concern terhadap isu lingkungan. "Mereka ingin tahu, ikan yang mereka konsumsi ditangkap dengan cara yang ramah lingkungan atau tidak. Jadi, kita harus buktikan dengan ecolabel seperti MSC," katanya. 

Saat ini, AP2HI sedang memfasilitasi sembilan perusahaan untuk mendapatkan MSC. Diperkirakan, seluruhnya bisa mendapatkan sertifikasi pada Agustus. 

Jika sudah meraih sertifikat, Muis menjelaskan, kesembilan perusahaan tersebut dapat langsung mengakses pasar baru. Khususnya ke Eropa yang memang memiliki tingkat permintaan tinggi terhadap produk bersertifikat MSC. 

Muis mencatat, setidaknya ada 14 perusahaan asing yang sudah membuat komitmen dengan sembilan perusahaan di bawah AP2HI. "Dari sekarang pun mereka sudah buat deal-dealan, jadi tahun depan mulai bisa transaksi business to business," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement