Kamis 12 Dec 2019 01:15 WIB

Indef: Industri Hasil Tembakau Butuh Peta Jalan

Peta jalan mesti disusun komprehensif oleh semua pemangku kepentingan terkait.

Petani mengiris tembakau di salah satu stan pada acara peringatan Hari Petani Tembakau Sedunia di Gedung Budaya Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, Selasa (29/10).
Foto: Abdan Syakura_Republika
Petani mengiris tembakau di salah satu stan pada acara peringatan Hari Petani Tembakau Sedunia di Gedung Budaya Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, Selasa (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mendorong dibuatnya peta jalan atau roadmap industri hasil tembakau (IHT). Peta jalan mesti disusun secara komprehensif oleh pemerintah, industri, hingga petani.

Menurut dia, peta jalan tersebut merupakan jawaban terhadap berkembangnya polemik terkait keputusan pemerintah yang akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen pada tahun depan. Aturan ini akan membuat Harga Jual Eceran (HJE) rokok naik hingga 35 persen.

"Saya sangat setuju bahwa peta jalan yang komprehensif itu salah satu jawaban (terhadap polemik tersebut)," katanya di Jakarta, Rabu (11/12)

Enny mengatakan, peta jalan yang komprehensif diharapkan mampu menjawab kepastian investasi. Sebab, industri hasil tembakau bukan hanya menjadi modal kapital bagi negara, tetapi juga menjadi daya tarik bagi investor untuk berinvestasi.

Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kemenko Perekonomian Atong Soekirman menyatakan pihaknya mendukung dibentuknya peta jalan IHT dan berharap terjadi komunikasi yang baik dan intensif dengan seluruh pemangku kepentingan.

"Kita berharap di dalam pembentukan roadmap industri hasil tembakau ada komunikasi yang intens duduk bareng dan kalau bisa sudah menyedot tembakau petani sudah berapa banyak. Ini harus duduk bareng," ujarnya.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memandang peta jalan IHT masih dibutuhkan untuk segera dirancang oleh pemerintah. Pasalnya, keterkaitan IHT sangat dalam dan luas terhadap penerimaan negara dan beberapa pihak lainnya.

Kepala Subdirektorat Program Pengembangan Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin mengungkapkan, Kemenperin pernah merancang peta jalan IHT melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau 2015 hingga 2020.

Namun, peta jalan itu dianulir oleh Mahkamah Agung (MA) karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan industri saat itu. "Pada 2016 ternyata harus dicabut karena bertentangan dengan UU Kesehatan," katanya.

Menurut dia, pemerintah harus segera bisa mencari titik tengahnya. Mulai dari sudut pandang petani maupun industri agar bisa searah, apalagi, Indonesia merupakan negara penghasil IHT terbesar kedua di dunia.

"Untuk di Indonesia, perlu suatu roadmap yang bisa menjadi acuan bagi instansi pemerintah untuk membuat kebijakan atau mem-framing mereka baik operasional, rencana investasi, bahkan juga masalah ketenagakerjaan kita bisa direncanakan dengan baik," katanya.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cuka  Ditjen Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan begitu pentingnya IHT bagi penerimaan negara bahkan penerimaan cukai selalu melampaui target.

"Insya Allah tahun ini (realisasi penerimaan cukai) 100 persen lebih sedikit. Kalau kata Menkeu Sri Mulyani ini bukan prestasi, tapi tradisi," kata Nirwala. 

Nirwala mengatakan pentingnya IHT di Indonesia bisa terlihat dari ukuran industrinya. IHT yang nilai industrinya Rp 326 triliun, berkontribusi Rp 200 triliun atau 61,4 persen.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement