REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidi menyampaikan seorang dai tidak diperkenankan meminta bayaran dan mematok tarif. Hal ini diatur dalam kode etik dakwah MUI.
"Dai juga tidak boleh minta tarif. Soal diberi itu lain soal, tapi dalam konteks minta, dalam kode etik kita tidak diperkenankan. Dan mematok tarif juga nggak boleh. Tapi menerima semacam ujroh atau kafalah dari pihak tertentu itu dibolehkan, asal tidak mentarif, tidak meminta. Mungkin lebih tepat itu hadiah saja, dari pihak tertentu atas terima kasih dia telah berdakwah," ujar dia kepada Republika.co.id, Rabu (4/12).
Selain itu, dai juga harus memberikan materi yang berada dalam koridor ahlussunnah wal jamaah. Dai juga harus menghormati budaya masyarakat setempat. Kalau pun bertentangan, itu harus mengubahnya pelan-pelan, tapi kalau nggak perlu diubah ya nggak perlu diubah," ujarnya.
Seorang dai juga harus menyampaikan dakwah sesuai kemampuannya sehingga tidak boleh memaksakan diri membahas suatu materi yang bukan merupakan kapasitas ilmunya. Zubaidi menjelaskan, berdakwah harus menyesuaikan dengan objeknya.
Di sinilah pentingnya metodologi yang perlu diperhatikan oleh tiap dai. Metode tersebut dapat bervariasi sesuai dengan objek dakwahnya.
"Terutama dakwah di kalangan milenial dan komunitas tertentu, perlu cara-cara yang efektif sebagaimana misalnya dakwah yang dilakukan Gus Miftah. Jadi harus melihat objek dakwahnya, kemudian disesuaikan dengan metodologi yang tepat itu apa, sehingga tidak monoton," ujar dia.