REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Penasihat Pertamina Energy Institute Widyawan Prawiraatmadja memproyeksikan mayoritas kendaraan akan menggunakan bahan bakar biofuel pada 2050.
“Pertamina sudah terlibat langsung dalam pengembangan energi baru terbarukan untuk sektor transportasi, seperti pengembangan B20 dan baru-baru ini sudah meresmikan penggunaan B30,” ujarnya dalam diskusi Pertamina Energy Forum (PEF) 2019 di Jakarta, Selasa.
Kebutuhan energi global diprediksi terus meningkat hingga 2050 karena penduduk dunia yang terus bertumbuh. Populasi dan kebutuhan energi, khususnya di negara-negara berkembang dianggap sebagai pendorong utama global megatrend.
Ketika pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat, ekonomi di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibanding rata-rata ekonomi global. Sektor industri dan transportasi merupakan konsumen energi terbesar dengan akumulasi 73 persen dari total kebutuhan energi.
“Sebagai pelaku usaha ujung tombak energi nasional, PT Pertamina (Persero) berperan penting menerjemahkan kebijakan pemerintah dalam energi transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan,” ujar Widyawan Prawiraatmadja.
Widyawan bersama dua narasumber lain, yaitu Pelaksana Tugas Dirjen Migas ESDM Djoko Siswanto dan Executive Director IHS Markitt Nick Sharma berbicara pada panel bertemakan "Global Megatrends : What Is Driving the Energy Revolution".
Widyawan menjelaskan transisi energi merupakan suatu keniscayaan. “Pertamina dapat mengimplementasikan keinginan pemerintah, seperti biofuel, tapi juga tetap sustainable dalam melakukan bisnis,” katanya.
Menurut dia, Pertamina sudah siap menghadapi perkembangan global di bidang energi baru terbarukan, khususnya di sektor transportasi dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan.
Dia memproyeksikan hingga 2050, sekitar 50 persen dari bahan bakar kendaraan bersumber dari biofuel. Di samping itu, pembangkitan listrik dari sumber daya baru terbarukan akan terus bertumbuh.
Pertamina memproyeksikan energi fosil seperti minyak dan gas dan batubara, masih memainkan peran utama jika menggunakan scenario business-as-usual. Berdasarkan scenario Market as Driver Pertamina, batu bara masih mempunyai peran besar dalam bauran energi. Di samping itu, B30 dan E20 (Ethanol 20 persen) sudah diimplementasikan dibarengi dengan penggunaan solar rooftop, geothermal dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Sementara itu, berdasarkan scenario Green as Possible, Pertamina memproyeksikan terjadi transisi elektrifikasi yang masif dari sumber energi fosil ke sumber energi baru terbarukan. Bahan bakar B50 (Biosolar kadar 50 persen) dan E50 (Ethanol kadar 50 persen) sudah diaplikasikan dan pembangkitan listrik energi baru terbarukan makin banyak terpasang.
Sementara itu, Djoko Siswanto mengungkapkan pemerintah telah memberikan dukungan bagi investor baik berbentuk regulasi, perizinan serta insentif fiskal. “Kebijakan dan birokrasi yang menghambat kita kurangi, investor juga diberi insentif pajak,” katanya.
Secara global, Direktur IHS Markitt Nick Sharma memproyeksikan energi baru terbarukan akan menyumbang lebih dari 70 persen dari total kapasitas pembangkitan energi. “Saat ini, batu bara masih merupakan energi yang paling murah, namun energi baru terbarukan semakin lama akan lebih bersaing,” kata Nick Sharma.
Namun, Nick memprediksi porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi global pada 2050 masih di kisaran 10-20 persen dan masih pentingnya peran energi fosil di negara-negara berkembang.