REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Program Studi Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, I Made Adnyana menilai pemerintah perlu memberi perhatian lebih kepada supply chain management atau manajemen rantai suplai. Alasannya produk-produk lokal sering tak mampu memenuhi permintaan dari pihak asing.
Ia menilai hal ini karena manajemen rantai suplai yang tidak mampu dikelola dengan baik. I Made Adnyana menyampaikan hal tersebut saat ini Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh PKSP (Pusat Kajian Sosial Politik) dan Program Studi Hubungan Internasional, FISIP Universitas Nasional Jakarta.
Adnyana mengingatkan, dalam Supply Chain Management (SCM), ada integrasi kepentingan antara perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi maupun mengirimkannya ke pemakai akhir. “Pendekatan yang ditekankan dalam SCM adalah terintegrasi dengan semangat kolaborasi,” tegas Adnyana dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/11).
Ia menambahkan, perusahaan yang berada dalam supply chain intinya ingin memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus."
Meskipun kelihatannya sederhana, menurut Ketua Program Studi Manajemen S2 MM Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional itu, dalam banyak hal industri lokal gagal memenuhi kebutuhan pasar lokal maupun pasar ekspor karena ketidakpastian rantai pasok yang disebabkan oleh bebagai hal. Termasuk aspek permintaan (demand) maupun aspek pasokan (supply).
Ia menunjuk contoh biaya pengangkutan sapi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Jakarta itu 40 persen lebih mahal daripada dari Australia. Sedangkan biaya pengiriman daging sapi dari Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir 4 kali lipat dibandingkan dari Australia.
Demikian juga, lanjut Adnyana, biaya pengangkutan ikan dari Ambon ke Surabaya rata-rata Rp 1.800 per kilogram. Sementara dari China ke Surabaya rata-rata hanya Rp 700 per kilogram.
I Made Adnyana juga mengaku mendengar adanya ketidakmampuan eksportir memenuhi permintaan pasar ekspor. Hal tersebut karena tingginya biaya pengiriman dan ketidakmampuan mempertahankan mutu produk akibat tdk mampu menjaga rantai pasok komoditas.
Faktor-faktor tersebut, jelas Adnyana, jelas diluar kemampuan produsen dalam negeri untuk menyelesaikannya. Pemerintah perlu turun tangan untuk menyelesaikan faktor-faktor di luar produksi tetapi pada ujungnya berpengaruh terhadap harga dan kualitas produk dalam negeri itu.
Sementara itu Soleh Rusyadi Maryam, Vice President Strategic Planning and Risk Management PT Sucofindo, yang berbicara tentang rantai pasok barang impor, mengatakan di kalangan negara-negara importir, Indonesia sebenarnya masih cukup longgar dan cenderung mudah menerima pasokan produk dari luar negeri.
Perkiraan hanya diangka 9 persen dari keseluruhan nilai impor non migas Indonesia melalui pembatasan khusus dalam bentuk Verifikasi/Penelusuran Teknis Impor (VPTI) oleh lembaga survei,” kata Soleh. Verifikasi dimaksud dilakukan di negara pengekspor atau di sebuah Pusat Logistik Berikat (PLB) terhadap barang-barang tertentu.
Kebijakan pembatasan impor yang diterapkan pemerintah RI, lanjut Soleh, merupakan sebuah tindakan non tarif (non tariff measure) yang merupakan salah satu cara pemerintah menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Sebagai bagian dari kebijakan pembatasan impor, menurut Soleh, VTPI bermanfaat bagi kepentingan nasional, yaitu dalam melindungi: industri nasional, konsumen, lingkungan hidup, keamanan negara, ekonomi kerakyatan, keamanan pangan, dan tentu saja menjaga defisit neraca perdagangan.
Ditegaskan Soleh, VPTI tidak melanggar prinsip-prinsip non diskriminatif, transparansi, perlindungan kerahasiaan informasi bisnis dan penghindaran penundaan pengapalan.
FGD Peran Supply Chain Management Dalam Mendukung Peningkatan Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia itu dibuka oleh Dekan FISIP Universitas Nasional, dan dihadiri para dosen dan ketua program studi FISIP UNAS serta sejumlah dosen fakultas ekonomi di Universitas Nasional