Sabtu 23 Nov 2019 14:19 WIB

Kemenkeu Masih Terus Godok Program Penjamin Polis

Pemerintah masih terus berupaya merealisasikan program pembentukan LPP asuransi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
Kemenkeu terus berupaya merealisasika Program Penjamin Polis (PPP) asuransi.
Foto: pixabay
Kemenkeu terus berupaya merealisasika Program Penjamin Polis (PPP) asuransi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (PKSK BKF Kemenkeu) Ayu Sukorini menuturkan, pemerintah masih terus berupaya merealisasikan program pembentukan Progran Penjamin Polis (PPP) atau kerap disebut Lembaga Penjamin Polis (LPP) asuransi. Hal ini sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Ayu mengatakan, sebenarnya, pemerintah melalui Kemenkeu sudah memasukkan program penjaminan polis pada Program Legislasi Nasional atau Prolegnas periode 2014-2019. Hanya saja, program ini tidak masuk dalam prioritas. "Untuk periode Prolegnas yang akan datang, pemerintah kemungkinan akan mengusulkannya kembali," tuturnya ketika dihubungi Republika, Sabtu (23/11) pagi.

Baca Juga

Diketahui, dalam pasal 53 ayat 1 UU No 40/2014, disebutkan bahwa perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Seharusnya, pengimplementasian aturan tersebut paling lambat tiga tahun setelah undang-undang perasuransian terbit, yaitu Oktober 2017. Tapi, sampai saat ini, PPP masih belum dibentuk.

Pembentukan PPP harus dilakukan melalui beleid UU. Ayu menuturkan, sebelum menyusun UU yang dimaksud, pihaknya terus melakukan kajian atas desain program yang akan dilakukan. Tidak hanya melibatkan pemerintah, pembahasan turut mengajak industri dan pihak pemangku kepentingan lain.

Dalam banyak kesempatan konsultasi, BKF Kemenkeu mendapat banyak masukan dari banyak pihak itu. Ayu memastikan, masukan itu didengar oleh pemerintah. "Agar desain yang dibuat cukup fit dengan kondisi industri asuransi di Indonesia," ujarnya.

Ayu menuturkan, pihaknya masih membuka peluang besar terhadap berbagai opsi. Termasuk apakah lembaga pengelola ini akan digabung ataupun dipisah dengan lembaga serupa seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Hanya saja, Ayu mengatakan, proses penggabungan memang tidak dapat dilakukan begitu saja. Sebab, modal dan pengelolaan dana tidak bisa dicampurkan mengingat tujuan serta cara kerja yang berbeda.

Bahkan, pengelolaan untuk asuransi syariah dan konvensional pun akan berbeda. Maupun antara asuransi umum dan jiwa. "Makanya, kami terus menggodok desain yang dapat menyesuaikan berbagai perbedaan ini," tutur Ayu.

Sebelumnya, wacana pendirian PPP disampaikan dalam rapat antara Komisi XI DPR dengan OJK pada Senin (18/11). Keberadaan PPP dirasa perlu, mengingat banyaknya masalah keuangan yang membebani perusahaan asuransi jiwa yang pada akhirnya merugikan pemegang polis.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Dalimunthe menyampaikan, keberadaan PPP akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Hasil akhirnya, penetrasi asuransi pun dapat semakin tinggi. “Masyarakat nggak lagi untuk berasuransi, karena perusahaan (asuransi) sudah ada yang menjamin,” katanya ketika ditemui di Jakarta, Jumat (22/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement