REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian Kabinet Gotong Royong, Bungaran Saragih, mewanti-wanti pemerintah sekarang untuk menyiapkan antisipasi yang matang dalam menghadapi kemungkinan serbuan impor daging ayam asal Brasil. Antisipasi itu dimulai dengan menjaga stabilitas harga bahan baku pakan ayam dalam negeri agar efisiensi industri bisa ditingkatkan dan memiliki daya saing yang kuat.
Bungaran memaparkan, industri unggas nasional akan memainkan peran strategis bagi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) nasional. Saat ini, konsumsi daging ayam nasional hanya 7,6 kilogram (kg) per kapita. Menuju tahun 2045, diperkirakan jumlah populasi Indonesia mencapai 318 juta jiwa dengan pendapatan per kapita 29 ribu dolar AS.
Peningkatan populasi itu akan memicu peningkatan konsumsi daging dan telur ayam nasional. Diprediksi, konsumsi daging ayam bisa tembus 48,7 kilogram per kapita sehingga kebutuhan daging ayam dalam negeri bisa mencapai 12 juta ton dari produksi tahun ini sebesar 3,52 juta ton (data BPS).
"Besarnya potensi pasar daging dan telur ayam di masa depan telah menjadi incaran negara produsen unggas, termasuk Brasil. Bahkan, Brasil dan negara eksportir unggas lainnya telah menggedor-gedor pintu impor Indonesia," kata Bungaran di Menara 165, Jakarta, Rabu (13/11).
Upaya menembus pintu impor itu juga sudah terlihat atas kemenangan Brasil atas gugatan belum terbukanya pintu impor daging unggas Indonesia di World Trade Organization (WTO). "Saat 15 tahun yang lalu, ini yang saya pertahankan agar tidak tembus. Tapi sekarang akhirnya tembus. Pasar Indonesia diperkirakan akan semakin dibanjiri oleh daging dan telur impor," katanya menambahkan.
Namun, Indonesia masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri sebelum itu terjadi. Bungaran menyampaikan, masalah utama dalam rendahnya daya saing industri unggas di Indonesia akibat mahalnya biaya produksi ayam dibanding negara lain.
Sebagai catatan, biaya produksi daging ayam saat ini mencapai Rp 15 ribu - Rp 18 ribu per kg, sementara di Brazil hanya Rp 9 ribu - Rp 10 ribu. Tingginya biaya produksi itu, menurut Bungaran lantaran mahalnya biaya pakan unggas yang menjadi komponen terbesar dalam biaya produksi. Bahan baku utama pakan unggas adalah jagung dan kedelai.
"Keterkaitan kedua faktor tersebut menunjukkan bahwa negara dengan industri unggas yang unggul adalah negara yang memiki keunggulan dalam industri jagung dan kedelai. Brasil, Amerika Serikat, dan Cina adalah negara produsen unggas terbesar di dunia," kata dia.
Lebih lanjut, Bungaran mengatakan, titik lemah industri ungas nasional tidak lain akibat kurang berkembangnya sektor hulu industri pakan. Indonesia memang berhasil mengembangkan industri substitusi ayam ras, namun, sejak dahulu belum berhasil mengembangkan jagung dan kedelai.
Sebagai implikasinya, kebutuhan bahan baku pakan sangat bergantung pada impor. "Ini mengancam keberlangsungan industri unggas nasional," kata Bungaran.