Rabu 06 Nov 2019 12:49 WIB

ADB: Angka Kelaparan di Indonesia Masih Besar

ADB menyarankan investasi sektor pertanian ditingkatkan untuk mengatasi kelaparan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Tim dari Kementerian Sosial menuju wilayah kelaparan di Negeri Maneo Rendah, Kabupaten Maluku Tengah
Foto: Kemensos
Tim dari Kementerian Sosial menuju wilayah kelaparan di Negeri Maneo Rendah, Kabupaten Maluku Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset dari Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa sektor pertanian di Indonesia masih sangat membutuhkan tambahan investasi dari  pemerintah. Perlu ada peningkatan riset pertanian agar kebutuhan pangan di dalam negeri bisa dipenuhi.

Di sisi lain, ADB memandang Indonesia perlu melakukan perubahan regulasi dan perbaikan dalam penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Dampak akhir yang diharapkan dari membaikan sektor pertanian adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional dan menekan angka kelaparan.

Baca Juga

"Menghapus angka kelaparan di Indonesia memerlukan peningkatan investasi di sektor pertanian dan perdesaan untuk memacu produktivitas, modernisasi sistem pangan, dan meningkatkan efisiensi pasar pangan," kata Ketua Tim Peneliti dalam Laporan ADB bertajuk 'Peningkatan Investasi untuk Ketahanan Pangan' yang diterima Republika.co.id, Rabu (6/11).

ADB mencatat, sektor pertanian dan ekonomi Indonesia telah membuat kemajuan selama beberapa dekade terakhir. Hanya saja, angka kelaparan kronis di Indonesia masih mencapai 22 juta orang pada kurun waktu 2016-2018. Karenanya, investasi pertanian mendesak untuk digenjot demi mengurangi angka kelaparan pada tahun 2034 mendatang.

Officer ADB khusus Spesialisasi Sumber Daya Alam dan Pertanian, Abul Basher, menjelaskan selain investasi, pusat penelitian dan pengembangan pertanian, infrastruktur irigasi dan infrastruktur perdesaan juga harus ditingkatkan.

Kontribusi sektor pertanian terhadap total produk domestik bruto (PDB) juga tercatat mengalami penurunan dari 30 persen terhadap PDB tahun 1975 menjadi 13,1 persen pada tahun 2017. Di sisi lain, situasi tenaga kerja pertanian juga menurun dari 62 persen terhadap total tenaga kerja Indonesia tahun 1975 menjadi hanya 29,7 persen tahun 2017.

Sektor pertanian diakui dapat menghasilkan banyak manfaat tambahan ekonomi. Namun, yang paling mendasar ialah memastikan ketahanan pangan untuk memberantas kelaparan.

Meskipun tren produksi meningkat diikuti dengan ketersediaan pangan dan kenaikan pendapatan rumah tangga, akses terhadap makanan di Indonesia tidak merata. Hal itu menyebabkan ada kerawanan pangan yang masih menjadi masalah.

"Untuk menghapus kelaparan di Indonesia, kita harus menargetkan investasi pada bidang-bidang yang mampu berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat," kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin.

Ia mengatakan, kebijakan lain yang perlu ditepuk yakni realokasi subsidi pupuk untuk investasi pertanian. Lembaga riset pertanian harus diarahkan pada penemuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. 

Menurut Bustanul, selain dapat menghapus kelaparan, beberapa skenario dari peningkatan investasi pertanian dapat meningkatkan kinerja perekonomian. Salah satu skenario yang ditemukan yakni diproyeksikan sektor pertanian akan menghasilkan tambahan manfaat ekonomi sebesar RP 1.834 triliun pada 2045.

Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut sebanyak 88 daerah kota dan kabupaten mengalami rentan rawan ketersediaan pangan. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan dalam jangka pendek puluhan daerah tersebut setidaknya tidak berstatus rawan pangan.

"Kita akan coba benahi 88 daerah ini. Saya berharap seluruh kementerian lembaga, pemerintah daerah untuk menyatu dan berkonsentrasi," kata Syahrul beberapa waktu lalu.

Syahrul mengkui, Kementan tidak mampu untuk mengatasi masalah kerawanan pangan di setiap daerah. Karena itu, pihaknya perlu melakukan kerja sama dan bersinergi dengan kementerian lembaga lain.

Kementan juga telah meneken Perjanjian Kerja Sama dengan enam kementerian lembaga untuk sinergi penanganan daerah rentan rawan pangan. Enam lembaga itu di antaranya, Kementerian Sosial, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, dan Lemhannas.

Pihaknya meminta agar setiap pejabat eselon I di masing-masing kementerian lembaga saling berkoordinasi untuk pengetasan daeran rentan tersebut. Adapun akhir dari upaya pengentasan kemiskinan yakni masyarakat setempat dapat lebih mandiri untuk hidup.

Lebih lanjut, sudut pandang rentan rawan yang digunakan pemerintah cukup banyak. Mencakup persoalan pangan, akses kesehatan, hingga pendidikan. Namun, Syahrul mengatakan, pihaknya telah memiliki pemetaan daerah rentan rawan pangan beserta klasifikasi kerentanan yang ada di tiap-tiap daerah.

Dari segi ketersediaan pangan, ia menuturkan tidak seluruhnya berkaitan dengan pasokan beras sebagai bahan pokok. Sebab, masing-masing daerah memiliki karakteristik pangan pokok yang berbeda. Adapun kebanyakan masalah yang dihadapi setiap daerah sehingga rentan rawan pangan akibat akses infrastruktur karena lokasi yang terisolasi.

"Tidak hanya beras, tidak hanya makanan juga. Pemetaannya sudah ada. Kategori-kategori itu sudah ada di kita. Kita sama-sama turun. Ini bukan pekerjaan baru, sudah lama tapi kita benahi sekarang," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement