Betapa banyak perubahan dari kawasan Timur Tengah tidak dalam waktu lama. Sebut misalnya perbandingan tahun 2009 dan 2019 ini. Kurang dari sepuluh tahun saja, terutama dipicu oleh gerakan sosial politik Arab Spring tahun 2011 lalu, wajah kawasan ini berubah total.
Dahulu, menyebut Timur Tengah adalah identik ekslusivitas. Nilai keseharian masyarakat maupun pemerintahan kental dipengaruhi nilai agama mayoritas. Karenanya tak mudah untuk bangsa luar, termasuk kalangan pebisnis, untuk bisa masuk beraktivitas dan menjalankan usahanya. Kalaupun bisa, tetap akan ada perbedaan cukup signifikan jika dibandingkan operasional bisnis yang sama namun di daratan benua lainnya.
Puncak transformasi sosial ini, tentu saja, adalah apa yang terjadi di Arab Saudi dalam dua tahun terakhir ini. Sebagai salah satu baromoter dan termasuk negara paling berpengaruh di Timur Tengah, kita menjadi saksi bersama akan berbagai perubahan yang kuat menyiratkan arah inklusifitas dari ekslusivitas tadi.
Jeddah, ibu kota Saudi Arabia, banyak diwartakan membuka diri dengan menggelar konser musik hingga memperbolehkan bioskop beroperasi. Hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya untuk sebuah negara kerajaaan yang sangat ditentukan corak kebijakan raja dan fuqoha (ahli fiqh) tersebut.
Hal inilah yang kemudian membuat arus kas masuk dan keluar dari dan ke Timur Tengah lebih menggeliat dibandingkan sebelumnya. Ambil contoh Indonesia, yang setelah Raja Salman datang ke Indonesia pada Maret 2017 lalu, maka volume kerja sama bidang ekonomi naik dari US$ 3.4 miliar menjadi US$ 4 miliar. Jika diukur dari neraca perdagangan, maka Indonesia - Arab Saudi setelah kunjungan Raja bahkan mencapai US$ 10 miliar.
Angka ini jelas terus naik. Merujuk data Kementerian Perdagangan RI , hubungan perdagangan Indonesia - Kerjaan Arab Saudi sebelumnya relatif fluktuatif. Pada 2015-2016, nilai perdagangan kedua negara mencapai US$ 5,4 miliar dan US$ 4,05 miliar.Pada 2017, nilai perdagangan kedua negara meningkat menjadi US$ 4,5 miliar. Dalam periode tiga tahun terakhir itu, Arab Saudi surplus karena ekspor minyak dan gas ke Indonesia.
Jangan tanyakan pula data soal betapa banyak penduduk kita yang berangkat umrah dan haji tiap tahunnya. Kementerian Agama mencatat hingga akhir 2018, sedikitnya 1 juta orang umrah ke dua tanah suci di Arab Saudi, Mekkah dan Madinah.
Selain itu, sedikitnya 200.000 jamaah haji atau kuota terbesar dari seluruh negara Muslim di dunia. Maka, bisa kita bayangkan perputaran fulus dalam hubungan bisnis kedua negara --terlebih ketika iklim makin dibuat kian terbuka oleh Arab Saudi khususnya dan negara Timur Tengah pada umumnya.
Secara keseluruhan, Bahasa Arab ini dituturkan lebih dari 280 juta orang sebagai bahasa pertama, yang mana sebagian besar tinggal di Timur Tengah dan Afrika Utara. Bahasa ini juga bahasa resmi dari 25 negara.
Di Indonesia, bahasa ini juga telah memberi banyak kosakata kepada bahasa resmi negara (Bahasa Indonesia), sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan, bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa di Benua Eropa turut terpengaruh banyak kosakata dari bahasa Arab.
Untuk itulah, kiranya cocok untuk entrepreneur di tanah air mulai juga membuka diri untuk masuk kawasan ini dengan salah satu pintu masuk utamamnya: Bahasa. Salah satunya bisa dengan mempelajari buku ini yang selain cocok bagi para pebisnis, juga pas untuk dipelajari mereka kalangan akademisi.
Konten di dalamnya mengupas detil percakapan Bahasa Arab yang biasa terjadi dalam lingkup ekonomi dan bisnis. Yakni di pasar buah (hal 13), pasar sayur mayur (hal 19), pasar kurma (hal 27), restoran hal 33 dan hal 39), toko buku (hal 53), toko baju (hal 59), hotel (hal 65), bandara (hal 71), money changer (hal 87), serta istilah-istilah kontemporer ekonomi dan bisnis (hal 93).
Percakapan seluruhnya ditulis dalam format tulisan Bahasa Arab, latin, serta terjemahannya. Beberapa bagian disampaikan dalam gaya percakapan, namun ada juga yang diajarkan dari sisi kata per kata sehingga bisa menjelaskan proses kebahasaan secara umum maupun spesifik.
Itulah sebabnya, secara fungsi, buku ini sangat aplikatif tanpa memandang sisi religiusitas para pembacanya terutama dari kalangan usahawan. Guna makin memperlancar penguasan lingusitik, tak ketinggalan selalu disampaikan target pencapaian pembelajaran di setiap awal bab serta evaluasi pembelajaran di akhir bab.
Konten yang dimunculkan pun tak sekedar "memajang" diksi yang ada di kamus. Namun disesuaikan dengan konteks kekinian di sektor ekonomi bisnis, seperti istilah Bahasa Arab untuk nasionalisasi perbankan, Asian Developement Bank, anggaran belanja negara, asuransi, kapitalisme, negara pengekspor, negara pengimpor, pajak, dan banyak lagi.
Ini wajar jika melihat latar belakang penulis yang memang sempat tinggal di Timur Tengah, yakni saat meraih sarjana Bahasa dan Sastra Arab di International Islamic Call University di Tripoli, Libya. Kita belajar dari mereka yang pernah tinggal langsung dan tidak, kiranya akan memberikan perbedaan signifikan bagi para pembelajarnya.
Penulis juga menyajikan dua ungkapan menarik dalam buku ini. Pertama, manusia adalah hayawan natieq atau makhluk berpikir, berbicara, dan berbahasa. Bahasa adalah media komunikasi utama.
Kedua, mempelajari Bahasa Arab selain untuk berbisnis, juga bisa mereduksi biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar penerjemah. Jadi, mempelajari buku ini bagi pebisnis, dengan sendirinya kembali ke jati diri sebagai makhluk berbahasa sekaligus meraih berbagai prinsip bisnis itu sendiri. Selamat membaca!
Judul: Pintar Bahasa Arab dalam Bisnis
Penulis: Dr. Uus Rustiman, Lc., M.Hum.
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya, Bandung
Cetakan: Mei 2019
Halaman: 124
ISBN: 978-602-446-335-9
Harga: Rp48.000
Muhammad Sufyan Abd, Mahasiswa S3 Religion Studies UIN SGD Bandung, dan Dosen Digital PR Telkom University