REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini diharapkan dapat memperbaiki iklim investasi. Apalagi saat ini selain Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Presiden juga membentuk kementerian yang fokus untuk urusan investasi, yakni Kemenko Maritim dan Investasi.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Agung Pambudi, meskipun dalam lima tahun terakhir kinerja investasi cukup positif, namun masih banyak perbaikan yang perlu dilakukan mencakup peningkatan iklim investasi.
Hal yang menurutnya sangat fundamental adalah free trade agreement (FTA) antara Indonesia dan AS, serta Indonesia dan Eropa untuk mendapatkan insentif tarif.
"Kalau kita sudah tandatangan akan mendapatkan insentif tarif disitu, bisa sepadan dengan Vietnam yang sekarang sudah mendapatkan insentif tarif. Kita level of playing field nya berbeda dengan Vietnam, jadi tertinggal dengan mereka, structure cost nya sudah ketinggalan," ujar Agung kepada Republika.co.id, Jumat (24/10).
Faktor peningkatan skill ketenagakerjaan juga menjadi sangat penting untuk menarik investasi masuk ke Indonesia. Kalangan pengusaha juga menyambut baik rencana pemerintah membentuk omnibus law atau UU konsolidasi yang akan merampingkan sebanyak 62 ribu regulasi.
"Dengan itu diharapkan perizinan usaha lebih tepat, mudah, dan murah," kata Agung. Selain itu, akses untuk mendapatkan lahan menjadi sangat signifikan pentingnya, lalu perbaikan di kapabeanan.
Sementara itu Direktur Eksekutid CORE Indonesia Mohammad Faisal berharap adanya Kemenko Maritim dan Investasi dapat mendorong realisasi investasi lebih besar dibandingkan sebelumnya hanya ada BKPM.
"Kebijakan kan lebih banyak intersektoral. Kemenko investasi semestinya punya jangkauan yang lebih besar, jangkauan lebih luas dalam hal koordinasi horizontal dengan kementerian lain, maupun vertikal dengan daerah," kata Faisal.
Dalam jangka pendek, ia berharap kementerian dan BKPM dapat menyelesaikan masalah perizinan seperti dengan omnibus law serta online single submission (OSS) yang masih perlu dibereskan.
Sementara pada jangka menengah permasalahan yang struktural dan fundamental di industri harus dibereskan. Karena permasalahan penurunan investasi di industri bukan hanya permasalahan dari sisi perizinan dan regulasi, tapi lebih ke fundamental di sektor itu sendiri sehingga tidak kompetitif.
Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi terus melambat. Investasi di Indonesia hanya tumbuh 4,1 persen pada 2018 apabila dibandingkan dengan 2017. Lebih lanjut, pada 2018 juga tercatat bahwa pertumbuhan PMA mengalami pertumbuhan negatif sebesar 8,8 persen.
Menurut Faisal, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus meningkatkan investasi pada sektor manufaktur yang menjadi prioritas, namun juga jasa. Karena investor dalam tiga tahun terakhir semakin tertarik untuk berinvestasi di sektor jasa seperti pariwisata, berbanding terbalik dengan industri manufaktur.
Fokus pemerintah pada industri manufaktur karena menyerap tenaga kerja lebih banyak. Padahal, menurut Faisal, apabila industri jasa dan manufaktur dikaitkan, dapat menciptakan multiplier effects.
"Kalaupun ingin mendorong sektor pariwisata itu investasinya harus terintegrasi dengan pengembangan manufakturnya, sehingga investasinya multiplier effect dan menumbuhkan gairah invetasi karena saling sinergi satu sama lain," kata Faisal.