Kamis 10 Oct 2019 08:09 WIB

Atasi Ketimpangan Ekonomi, Kebijakan Harus Komprehensif

Terdapat kemiskinan struktural yang tak bisa diatasi dengan bansos.

Kemiskinan (ilustrasi)
Foto: Act
Kemiskinan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan ekonom menilai pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang lebih spesifik untuk mengatasi permasalahan ketimpangan di Indonesia. Mengurangi tingkat kemiskinan dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat kelompok terbawah tak cukup untuk menekan ketimpangan.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan, isu ketimpangan tidak sekadar berbicara bantuan sosial. Sebab, ketimpangan juga disebabkan oleh beberapa hal, seperti tenaga kerja hingga sistem perpajakan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang komprehensif sehingga dapat menyentuh berbagai aspek.

Baca Juga

Yusuf mengatakan, salah satu faktor yang harus diperhatikan pemerintah adalah tenaga kerja. Hanya segelintir pekerja yang dapat meningkatkan kemampuannya sehingga mampu mendapatkan upah lebih tinggi. Sementara sisanya, tidak mendapatkan pelatihan dan skill-nya pun relatif kurang. "Dampaknya, upah mereka lebih rendah dan bermuara pada kesenjangan pendapatan," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (9/10).

Permasalahan lain dari tenaga kerja adalah dominannya struktur pekerja informal dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Menurut Yusuf, mereka yang bekerja pada sektor informal pada umumnya tidak mendapatkan jaminan asuransi dan sebagainya. Kondisi ini membuat mereka rentan terkuras pendapatannya ketika mengalami musibah.

Faktor lain yang menyebabkan ketimpangan adalah sistem pajak yang dinilainya relatif timpang. Artinya, Yusuf mengatakan, lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) terlalu sedikit, yakni hanya lima golongan sehingg, ada kecenderungan terdapat ketimpangan dalam pemotongan pajak. "Seharusnya, layer pajak ini dapat ditambah seperti negara-negara lain sehingga bisa mereduksi ketimpangan," tuturnya.

Kemarin, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyampaikan laporan akhir kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di Istana Wakil Presiden, Rabu (9/10). TNP2K dalam laporannya menyebut ketimpangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin melebar.

Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto menyampaikan, rasio gini yang menjadi indikator ketimpangan memang cenderung menurun. Akan tetapi, kata dia, ketimpangan absolut semakin lebar. Bambang mengungkapkan, satu persen orang Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Sementara, 10 persen keluarga terkaya menguasai 70 persen aset nasional.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengutarakan hal senada. Heri menilai, pemerintah jangan hanya mengandalkan bansos.

Akan tetapi, Heri mengakui, ada kalanya titik kemiskinan di suatu negara sulit diturunkan. Dampaknya, ketimpangan pun sulit membaik. Kondisi ini sudah terlihat di Indonesia yang sedang mengalami perlambatan penurunan laju kemiskinan dari tahun ke tahun.

Penyebabnya, kata dia, terdapat kemiskinan secara struktural yang tidak dapat diatasi dengan memberikan bansos. "Oleh karena itu, dibutuhkan metode pendekatan yang inovatif," ujar Heri ketika dihubungi Republika, Rabu (9/10).

photo
Angka Kemiskinan: Sejumlah anak berada di rumah mereka di Kawasan Permukiman Pemulung di Palu, Sulawesi Tengah.

Bantuan tersebut dapat berupa membangun konektivitas, seperti jembatan penghubung ke desa dan ke sekolah di pedalaman. Selain itu, mengintensifkan pembangunan fasilitas pendidikan di daerah tertinggal. Cara lain adalah dengan membangun jaringan internet di kawasan yang sebelumnya tidak pernah tersentuh.

Heri menuturkan, anggaran bantuan inovatif tersebut bisa saja tidak masuk ke pos bantuan sosial (bansos) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN). Bantuan tersebut dapat dialokasikan ke program-program kementerian/lembaga (K/L) teknis. "Bantuan inovatif ini dapat mengatasi kemiskinan struktural lebih cepat," katanya.

Ia menjelaskan, ketimpangan terjadi karena kesenjangan antara kemampuan konsumsi golongan masyarakat kaya dan miskin yang semakin tinggi. Di satu sisi, masyarakat golongan atas memiliki pertumbuhan konsumsi cepat, sedangkan masyarakat miskin masih lambat. Heri menggambarkan, orang kaya melaju dengan mobil, sedangkan orang miskin hanya menggunakan sepeda. Meski sama-sama melaju, kecepatannya berbeda.

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, Heri mengakui ketimpangan akan menjadi permasalahan panjang, khususnya ketika distribusi aset-aset ekonomi masih terkonsentrasi ke beberapa golongan. Dampaknya, pemanfaatan oleh buruh atau golongan bawah menjadi kurang optimal.

Selama lima tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah memberikan banyak program bantuan, seperti reforma agraria dan bansos yang dianggarkan dalam APBN. Namun, Heri menilai bantuan tersebut masih kurang efektif untuk beberapa kalangan masyarakat.

Heri memberikan contoh masyarakat di pulau terpencil. Mereka harus menyeberang pulau terlebih dahulu untuk bersekolah dengan biaya transportasi yang tidak murah. "Mereka lebih memilih tidak sekolah dan akhirnya kemiskinan kembali berulang ke generasi berikutnya," ucapnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini pendapatan masyarakat Indonesia telah meningkat seiring adanya pertumbuhan ekonomi. Ia menambahkan, ekonomi Indonesia yang masih tumbuh pada kisaran lima persen juga mampu menurunkan angka kemiskinan.

"Penanggulangan kemiskinan bukan hanya kita memberikan harga murah, tetapi mempunyai banyak segmen. Pertumbuhan ekonomi 5-6 persen itu berarti ukuran kemiskinan telah menurun, pendapatan naik," kata JK saat menerima laporan akhir TNP2K, kemarin.

Menurut dia, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di posisi menengah jika dibandingkan negara-negara lain. Dengan begitu, penguatan ekonomi masih menjadi tugas bersama untuk meningkatkan pertumbuhan tersebut.

"Tentu, kita harus mengupayakan lebih tinggi lagi agar memberikan lapangan kerja untuk mengatasi dan menanggulangi kemiskinan. Apabila lapangan kerja berkurang, berarti akan menambah kemiskinan," ujarnya. n adinda pryanka/antara, ed: satria kartika yudha

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement