Rabu 09 Oct 2019 10:51 WIB

Bahaya, Teknologi Ini Berpotensi Picu Perang Antar-Negara

Deepfake berpotensi memicu konflik internasional sebagai dalih untuk memulai perang

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Bahaya Banget! Teknologi Ini Berpotensi Picu Konflik Internasional!. (FOTO: Wired)
Bahaya Banget! Teknologi Ini Berpotensi Picu Konflik Internasional!. (FOTO: Wired)

Warta Ekonomi.co.id, JAKARTA -- Selebriti dan politisi berulang kali menjadi sasaran dari teknologi deepfake, entah untuk menunjukkan kemajuan teknologi ataupun sekadar bersenang-senang. Saat ini, teknologi itu masih mudah dideteksi—tapi itu akan menimbulkan ancaman baru jika sudah semakin canggih dan sulit diidentifikasi, menurut para ahli.

"Deepfake berpotensi memicu konflik internasional sebagai dalih untuk memulai perang," menurut CEO perusahaan verifikasi video Amber, Shamir Allibhai. 

“Negara-negara bahkan dapat membuat 'bukti palsu’ menggunakan deepfake sebagai alasan untuk menyerang terlebih dahulu, bahkan pihak ketiga dapat menciptakan dan mendistribusikan deepfakes untuk memprovokasi konflik antara dua musuhnya,” jelasnya, dilansir dari Sputnik News (8/10/2019). 

Baca Juga: Apa Itu Deepfake

Pakar teknologi itu menilai, jika militer berbagai negara tidak menciptakan alat untuk memverifikasi konten palsu di masa depan, termasuk video dengan doppelganger digital pemimpin nasional, deepfake dapat digunakan untuk memicu peperangan nyata.

"Bayangkan seorang Presiden menyatakan perang terhadap negara asing. Negara asing melihat deklarasi tetapi apakah rekaman itu nyata? Palsu? Haruskah negara asing menyerang, jika video itu nyata? Apakah negara asing itu justru membuat palsu video sebagai dalih memulai perang?” tanyanya kemudian.

Lalu, Shamir membahas presentasi Colin Powell di PBB tentang dugaan program senjata pemusnah massal Irak, yang tidak terbukti ada. Ia pun menekankan negara-negara harus lebih skeptis, karena di era digital, video dan audio dapat disunting dengan mudah.

Ia menyampaikan, “bahkan beberapa negara tak jarang menggunakan citra palsu untuk propaganda demi meningkatkan moral rakyat atau menebar ketakutan di antara musuh mereka.”

Belum lama ini, Pemimpin Redaksi Peninjau Teknologi MIT, Gideon Lichfield mengubah dirinya menjadi Presiden Rusia, Vladimir Putin untuk mendemonstrasikan deepfake real time terbaru. Meski wajahnya sudah mirip, aksen Amerika Gideon masih sangat kental. Teknologi tersebut memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement