REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan wisata halal di Indonesia dinilai masih belum cukup baik. Pengamat Pusat Kajian Pariwisata Universitas Andalas (Unand), Sari Lenggogeni, melihat masih banyak pihak yang salah mengartikan tentang konsep wisata halal.
"Banyak yang menganggap pariwisata halal itu adalah pariwisata fully syariah yang tidak berbasis segmen, padahal tidak begitu," kata Sari kepada Republika.co.id, Senin (7/10).
Wisata halal pada dasarnya sama dengan wisata pada umumnya yang menyediakan atraksi unik dan menarik bagi wisatawan. Namun yang membedakannya, wisata halal memberi ruang bagi wisatawan untuk mendapatkan akses ibadah serta makanan halal dengan lebih mudah.
Menurut Sari penggunaan istilah wisata halal di Indonesia justru memperkecil segmen pasar. Sehingga, tidak heran apabila pertumbuhan wisatawan dari negara Timur Tengah di Malaysia jauh lebih besar dibandingkan Indonesia yang merupakan negara dengan komunitas Muslim terbesar dunia.
Sari menekankan, wisata halal bukan berarti harus mengedepankan wisata yang sifatnya ibadah. Menurutnya, Indonesia harus belajar dari Malaysia. Sari menjelaskan, wisatawan Muslim di Malaysia bisa tumbuh pesat karena negara tersebut menyediakan kebutuhan wisata turis Timur Tengah.
"Di daerah Bukit Bintang, Malaysia, ada banyak restoran Arab. Mereka juga membuat atraksi yang menyenangkan bagi turis. Intinya turis Arabic tetap ingin mendapatkan aktivitas leisure itu sendiri, dengan fasilitas ibadah yang mudah diakses," terang Sari.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh Indonesia saat ini yaitu lemahnya sistem pengelolaan destinasi. Destinasi wisata Indonesia kebanyakan masih bersifat pasif. Indonesia belum menciptakan atraksi-atraksi yang dapat melibatkan wisatawan secara emosi.
Permasalahan lainnya penggunaan istilah yang kurang tepat. Menurut Sari, istilah wisata halal di Indonesia membuat segmen selain Muslim merasa tidak nyaman. Salah satu contohnya yang baru ini terjadi yaitu polemik wisata halal di Danau Toba dan Bali.
Sari mengatakan, penyebutan istilah wisata halal akan lebih baik jika diganti dengan wisata ramah Muslim atau wisata ramah keluarga. "Pariwisata itu jangan mengenyampingkan DNA destinasi. Miskonsepsi ini akibat dari penggunaan terminologi yang salah," kata Sari.