Jumat 04 Oct 2019 16:39 WIB

Regulasi RI Belum Dianggap Menarik Bagi Investor

Masih banyak aturan yang tumpang tindih antara kementerian dan pemerintah daerah.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Pepsi
Foto: AP
Pepsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regulasi di Indonesia dianggap kurang menarik bagi investor. Salah satunya adalah masih terjadinya aturan yang tumpang tindih antara kementerian dengan pemerintah daerah (pemda).

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudisthira menilai, pemerintah perlu menyingkronkan aturan antara kementerian dan pemda yang masih tumpang tindih. Hal ini agar investasi dapat terpacu masuk dan investasi yang sudah masuk tetap eksis dan tak meninggalkan Indonesia.

Baca Juga

“Saya rasa pemerintah perlu perbaiki ini, diharmonisasi efisien,” kata Bhima saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/10).

Seperti diketahui, baru-baru ini perusahaan minuman ringan berkarbonasi, Pepsi, memutuskan hengkang dari Indonesia. Perusahaan yang berkantor di Amerika Serikat (AS) itu dikabarkan tak lagi memperpanjang kerja sama dengan PT Anugerah Indofood Barokah Makmur (AIBM) yang berlaku efektif pada 10 Oktober 2019.

Sebelum kabar hengkangnya Pepsi dari Indonesia terdengar, Lafarge Holcim telah lebih dulu hengkang. Pada 2018 Lafarge Holcim menjual operasional di Indonesia dengan kesepakatan nilai 1,75 miliar dolar AS kepada PT Semen Indonesia Tbk. Saham Lafarge Holcim kemudian diakuisisi oleh PT Semen Indonesia sebesar 80,6 persen dan resmi berganti nama menjadi Semen Dynamix.

Kemudian, perusahaan minyak milik Saudi Arabia dan Amerika Serikat, Saudi Aramco, juga dikabarkan batal menanamkan investasinya ke Indonesia. Fakta ini membuat deretan nama perusahaan besar internasional seakan enggan berinvestasi di Indonesia.

Menurut Bhima, saat ini insentif fiskal masih terlalu umum dan hanya fokus pada investasi yang masuk. Sementara investor yang existing belum sepenuhnya tercover dalam insentif fiskal. Sedangkan faktor berikutnya, kata dia, terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga khususnya kelas menengah ke atas.

Di sisi lain, dia juga menggarisbawahi kepercayaan dunia investasi terhadap stabilitas politik Indonesia. “Kepercayaan terhadap stabilitas politik ini turun, jadinya banyak komitmen investasi yang realisasinya masih rendah,” kata Bhima.

Lebih lanjut pihaknya menjabarkan, sistem investasi satu pintu atau Online Single Submission (OSS) dinilai masih menjadi penghambat karena belum sepenuhnya singkron dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah. Meski begitu dia juga menyadari bahwa terjadi tren pergeseran investasi di Indonesia yang tadinya dari industri menjadi ke sektor jasa. 

“(Investasi) yang masuk banyak dari fintech, seperti e-commerce dan ojol. Sedangkan industrinya ini bergeser ke Vietnam, Malaysia, dan lainnya. Kenapa jasa? Karena Indonesia saat ini cenderung masih dipandang sebagai market, bukan produsen barang,” ujarnya.

Untuk itu dia mengimbau kepada pemerintah untuk membenahi sistem perizinan OSS dan meningkatkan koordinasi antara pusat dengan daerah. Selain itu dia juga menilai pemerintah perlu mempertajam insentif yang sudah ada agar investor semakin bergairah berinvestasi di Indonesia.

Menurutnya sejauh ini peluang Indonesia untuk mendatangkan investasi masih terbuka lebar. Asalkan pemerintah mampu memanfaatkan celah relokasi perang dagang yang masih berlangsung antara Amerika Serikat dengan Cina. Dia juga meminta pemerintah perlu meyakinkan komitmen investasi menjadi realisasi dan bukan hanya sekadar komitmen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement