Rabu 25 Sep 2019 06:35 WIB

Penerimaan Pajak Hingga Agustus Tumbuh 1,4 Persen

Perlambatan penerimaan pajak menandakan ekonomi turun sampai skala dunia usaha.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dalam konferensi pers kinerja APBN sampai akhir Agustus 2019 di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dalam konferensi pers kinerja APBN sampai akhir Agustus 2019 di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan penerimaan perpajakan hingga Agustus tercatat lebih rendah. Dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2019, pertumbuhannya 1,4 persen atau jauh lebih melambat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 24,3 persen. 

Sri mengatakan, perlambatan tersebut menandakan bahwa kondisi ekonomi mengalami penurunan sampai skala dunia usaha. Sebab, perusahaan terutama Wajib Pajak (WP) membayar pajak dengan nominal lebih rendah dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. 

Baca Juga

"Ini yang harus diwaspadai," ujarnya dalam pemaparan kinerja APBN 2019 di Jakarta, Selasa (24/9).  

Periode Juli dan Agustus menghadapi dampak paling tertekan dari ekonomi global. Ini tergambar dari pertumbuhan pajak pada dua bulan tersebut yang lebih lambat dibandingkan pertumbuhan semester pertama. 

Khususnya PPh Dalam Negeri (DN) yang pada Juli dan Agustus masing-masing kontraksi 14,18 persen dan 16,09 persen. Angka tersebut lebih dalam dibanding dengan semester pertama tahun ini, minus 2,90 persen. Kondisi ini menjadi tekanan pada pendapatan negara mengingat kontribusi PPh DN yang mencapai 20,9 persen terhadap penerimaan pajak. 

Hanya PPh Orang Pribadi dan PPh Final yang tetap menunjukkan kinerja positif. Pada Juli dan Agustus PPh OP memiliki kinerja masing-masing 55,96 persen dan 13,82 persen. Ini lebih baik dibandingkan semester pertama tahun ini, 13,82 persen. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, tantangan global memang lebih banyak berdampak terhadap dunia usaha. Khususnya mereka yang berorientasi ekspor. Sebab, pertumbuhan negara maju yang melambat menyebabkan permintaan barang-barang ke Indonesia ikut menurun. 

Dengan pertumbuhan ekspor menurun dan harga komoditas yang menurun, penerimaan perusahaan pun ikut menurun. Triple effect ini membuat penyetoran pajak dunia usaha ikut menurun. 

"Ini mulai terasa, satu step demi step terasa (ke ekonomi Indonesia)," ucap Suahasil. 

Dalam konteks ini, Suahasil memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun berada di kisaran 5,08 persen. Dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada semester pertama mencapai 5,06 persen, maka semester kedua hanya akan menyentuh tingkat 5,11 hingga 5,12 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement