Jumat 20 Sep 2019 13:39 WIB

Sistem Pembelian Tebu, Bikin Maju Petani dan Pabrik Gula

Dengan sistem pembelian tebu atau beli putus ini petani dapat harga yang jelas.

Perkebunan tebu.
Foto: Kementan
Perkebunan tebu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan membuat gebrakan dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Hal ini menunjukkan bahwa dengan keluarnya surat edaran ini mekanisme sistem SPT akan menggantikan mekanisme sebelumnya yaitu Sistem Bagi Hasil (SBH) yang sudah berjalan.

"Dengan sistem pembelian tebu atau beli putus ini petani dapat harga yang jelas, ini sebuah kelebihan. Sebelumnya petani kan belinya dengan gula yang digiling. Tebu dibawa ke pabrik gula kemudian digiling, nanti sekian persen dari gula itu jadi ongkos giling. Nah sekarang petani benar-benar menerima pembayaran atas tebunya, tidak harus menunggu rendemen lagi," ujar Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan, Agus Wahyudi disela-sela acara Silaturahmi dan Konsolidasi Percepatan Investasi Sub Sektor Perkebunan di Aditorium Gedung D Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Kamis (19/9) lalu, seperti dalam siaran persnya.

Baca Juga

Agus menyampaikan mekanisme Sistem Pembelian Tebu merupakan suatu cara pembelian Tebu milik petani oleh Pabrik Gula (PG) yang harganya ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan kualitas tebu. Kualitas tebu dimaksud adalah tingkat kemanisan, kebersihan dan kesegaran tebu pada saat diterima di PG. Sistem beli putus tebu ini artinya petani tidak lagi menanggung situasi rendemen di PG.

Mekanisme beli putus ini ditetapkan berdasarkan Harga Pembelian Tebu Pekebun (HPP) ditetapkan sebesar Rp 510 ribu per ton pada tingkat rendemen tujuh persen. Jika rendemen lebih tinggi atau kurang dari tujuh persen maka harga tebu disesuaikan secara proposional. Lebih lanjut perhitungan SPT dapat dihitung dengan rumus (R/7 persen X 510/kg). Pembayaran yang dilakukan PG sesuai dengan kualitas tebu paling lambat tujuh hari setelah tebu diterima oleh PG.

"Skema baru membuat hubungan PG dan petani menjadi transaksional atau murni jual-beli biasa, " tutur Agus.

photo
Perkebunan tebu.

Menurut Agus pada musim giling tahun 2019 ini rendemen harian petani rata-rata 9–10 persen, hal ini bila dikalkulasikan petani akan memperoleh pendapatan Rp 651 ribu per ton – Rp 721 ribu per ton.

Agus berharap peyani memperoleh hasil sesuai dengan kualitas tebu yang dihasilkan, dengan kata lain petani akan memperoleh pendapatan sesuai dengan hasil rendemen yang mereka peroleh. Setelah itu petani akan memperoleh hasil paling lambat tujuh hari setelah penerimaan tebu oleh PG.

"Kita sedang merancang Permentan yang mengatur tentang Kemitraan dan beli putus yang diharapkan akan terealisasi secepatnya, sehingga petani tebu juga akan terlindungi dan petani akan lebih maju tentunya, " tutup Agus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement