REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak di pasar global anjlok sekitar enam persen pada akhir perdagangan Selasa (17/9) atau Rabu (18/9) pagi WIB. Anjloknya harga minyak terjadi setelah menteri energi Arab Saudi mengatakan negara itu telah berhasil memulihkan pasokan minyak mereka pascaserangan akhir pekan lalu terhadap fasilitasnya.
Serangan pada Sabtu (14/9) lalu meningkatkan guncangan mengenai pasokan di pasar global. Dampaknya, harga minyak dunia sempat melonjak sebanyak 20 persen pada Senin (16/9) setelah serangan tersebut.
Selama konferensi pers pada Selasa (17/9), Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan mereka telah memulihkan pasokan dengan menyedot persediaan, dan kehilangan produksi minyak 5,7 juta barel per hari (bph) pada akhir September.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November jatuh 4,47 dolar AS atau 6,5 persen, menjadi ditutup pada 64,55 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun 3,56 dolar atau 5,7 persen, menjadi menetap di 59,34 dolar AS per barel.
Brent tenggelam lebih dari tujuh persen selama konferensi pers. "Berita terbaru berarti bahwa kita tidak akan terburu-buru untuk merevisi perkiraan harga minyak kita 60 dolar AS per barel pada akhir 2019. Itu mengatakan, masih ada beberapa pertanyaan penting yang harus dijawab tentang serangan, yang mungkin berarti bahwa kita harus mempertimbangkan premi risiko yang lebih tinggi secara permanen dalam perkiraan harga kami," kata Kepala Ekonom Komoditas Capital Economics Caroline Bain dalam sebuah catatan.
Produsen minyak milik negara, Saudi Aramco, mengatakan kepada beberapa perusahaan penyulingan Asia akan memenuhi komitmen minyaknya, meskipun dengan perubahan, kata sumber. Serangan terhadap fasilitas pemrosesan minyak mentah di Abqaiq dan Khurais mengakibatkan gangguan pasokan tunggal terbesar dalam setengah abad, dan mempertanyakan status Arab Saudi sebagai pemasok pilihan terakhir ketika yang lain tidak bisa memenuhinya.
Prospek pelepasan dari cadangan minyak strategis di Amerika Serikat, dan negara industri lainnya yang disarankan oleh Badan Energi Internasional (IEA), seperti Jepang, telah membebani harga, tetapi ancaman pembalasan secara geopolitik menyebabkan kekhawatiran.
Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan Amerika Serikat sedang meninjau bukti yang menunjukkan Iran berada di balik serangan itu. “Kami sedang mengevaluasi semua bukti. Kami berkonsultasi dengan sekutu kami. Dan presiden akan menentukan tindakan terbaik di masa mendatang," kata Pence.
Washington yakin serangan itu berasal dari Iran barat daya, kata seorang pejabat AS kepada Reuters. Hubungan antara Amerika Serikat dan Iran telah memburuk sejak Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir Iran tahun lalu dan menerapkan kembali sanksi terhadap ekspor minyaknya.
Teheran menolak tuduhan di balik serangan itu, dan pada Selasa (17/9) mengesampingkan pembicaraan dengan Trump. Raja Saudi Salman meminta pemerintah-pemerintah dunia untuk menghadapi ancaman terhadap pasokan minyak.
Persediaan minyak mentah AS naik 592.000 barel dalam pekan yang berakhir 13 September menjadi 422,5 juta barel, data dari kelompok industri American Petroleum Institute (API) menunjukkan pada Selasa (17/9). Para analis memperkirakan penurunan 2,5 juta barel. Data resmi pemerintah AS akan dirilis pada Rabu waktu setempat.