Kamis 12 Sep 2019 08:07 WIB

Defisit BPJS Dipicu Problem Iuran

BPJS Kesehatan tak mungkin menuntut penandatanganan regulasi penyesuaian iuran.

Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan, besaran iuran menjadi masalah inti yang memicu defisit perusahaan. Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan kenaikan iuran melalui mekanisme yang sesuai regulasi.

Menurut aturan yang berlaku, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merupakan pihak yang berkewenangan untuk mengusulkan kenaikan premi bulanan kepada pemerintah. "Yang harus kita bangun ke depan ini, kalau sistem ini akan sustain, pasti basisnya iuran. Jangan sampai basis dana tambahan," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat berkunjung ke kantor Republikadi Jakarta, Rabu (11/9).

Baca Juga

Dia mengatakan, kesepakatan pemerintah dan DPR untuk menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan sebagai moment of truth.

Artinya, inilah saatnya seluruh pihak menyadari, BPJS Kesehatan akan terus berkelanjutan bila terus bertopang pada dana hasil iuran peserta, bukan talangan pemerintah.

Pihaknya juga menegaskan, tidak pernah membuat pernyataan yang seolah-olah menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar menyetujui kenaikan premi.

"Selain itu, BPJS Kesehatan adalah lembaga yang berada di bawah Presiden sehingga posisi BPJS Kesehatan adalah patuh dan loyal terhadap keputusan Presiden," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf dalam keterangannya kepada Republika, Rabu.

Dia menjelaskan, BPJS Kesehatan tidak mungkin berposisi menuntut penandatanganan regulasi penyesuaian iuran. Untuk mengatasi defisit keuangan, kalangan lembaga swadaya masyarakat menilai BPJS Kesehatan perlu meningkatkan kepatuhan peserta.

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mendukung gagasan pelibatan ketua rukun tetangga atau rukun warga (RT/RW) dalam mengimbau masyarakat agar disiplin membayar premi bulanan BPJS Kesehatan. Selain itu, lanjut dia, ketua RT/RW da pat dimintai bantuannya untuk menagih warga yang telat membayar iuran BPJS Kesehatan.

"BPJS Kesehatan mengajak aparat RT dan RW ikut mengimbau dan menagih utang iuran JKN-KIS kepada peserta mandiri, seperti yang dilakukan di sebuah kelurahan di Depok, Jawa Barat," kata Timboel Siregar saat dihubungi Republika, Rabu.

Pihaknya mengapresiasi uji coba penagihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan oleh pihak RT/RW di Kelurahan Mekarjaya, Depok, Jawa Barat. Seperti diberitakan sebelumnya, penagihan tersebut merujuk pada surat edaran Lurah Mekarjaya Nomor 460/121-Kemaspel yang ditujukan kepada seluruh ketua RW di wilayah setempat pada 22 Agustus 2019. Kelurahan tersebut diketahui telah meneken nota kesepahaman dengan BPJS Kesehatan Cabang Depok agar menjadi pilot project Desa JKN.

Timboel mengatakan, upaya penagihan yang dilakukan aparat RT/RW mesti secara persuasif. Hal ini sejalan dengan upaya BPJS Kesehatan yang ingin mewujudkan sistem gotong royong, yakni warga yang sehat membantu warga yang sedang sakit.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta masyarakat untuk disiplin dan aktif membayar premi bulanan BPJS Kesehatan. (rahma sulistya/rr laeny ed:hasanul rizqa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement