Selasa 10 Sep 2019 23:29 WIB

Kerugian Pembajakan Per Tahunnya Capai Puluhan Triliun

Pembajakan dengan kerugian terbesar berasal dari subsektor fesyen

Rep: Arie lukihardianti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Deputi Fasilitas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif Ari Juliano Gema menyampaikan sambutan pada peluncuran Satgas Penanganan Pengaduan Pembajakan Produk Ekonomi Kreatif di Jakarta, Selasa (11/10).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Deputi Fasilitas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif Ari Juliano Gema menyampaikan sambutan pada peluncuran Satgas Penanganan Pengaduan Pembajakan Produk Ekonomi Kreatif di Jakarta, Selasa (11/10).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kerugian akibat pembajakan di seluruh Indonesia diprediksi mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Bahkan, menurut Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ari Juliano Gema, tidak tertutup kemungkinan jika nilai kerugiannya bisa mencapai Rp 100 triliun per tahun.

Menurut Ari, hingga saat ini Bekraf memang belum memiliki data potensi kerugian secara menyeluruh. Namun, berdasarkan data yang berhasil dihimpun Bekraf dari sejumlah lembaga, nilai kerugiannya sangat besar.

"Kalau dikalkulasikan seluruh Indonesia, bisa jadi kerugiannya mencapai angka tersebut (Rp 100 triliun)," ujar Ari kepada wartawan usai Konferensi Pers Kampanye Anti Pembajakan di Gedung Sate, Jln. Diponegoro, Selasa (10/9).

Menurut Ari, untuk pembajakan film saja, berdasarkan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) yang digelar di Jakarta, Medan, Bogor, dan Deli Serdang pada 2017, potensi kerugiannya diprediksi mencapai lebih dari Rp 1,4 triliun. Potensi kerugian tersebut terjadi akibat peredaran DVD bajakan dan pengunduhan konten digital secara ilegal.

"Itu baru di empat kota saja dan satu subsektor ekonomi kreatif, belum termasuk kota-kota lain di Indonesia dan subsektor lainnya," katanya.

Sementara subsektor musik, berdasarkan data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), potensi kerugian pada 2017 diprediksi mencapai Rp 8,4 triliun. Subsektor aplikasi menyumbang potensi kerugian lebih dari Rp 12 triliun pada 2016, berdasarkan laporan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP).

Data penelitian LPEM UI 2014 yang bertajuk Dampak Ekonomi Pemalsuan di Indonesia menyebutkan, dampak ekonomi terbesar pembajakan datang dari subsektor fesyen. Pada tahun tersebut nilainya diperkirakan mencapai Rp 41,58 triliun.

"Untuk kondisi terbaru tahun ini, kami belum melakukan survey. Akan tetapi, kemungkinan besar potensi kerugiannya berada pada kisaran angka tersebut," kata Ari.

Apalagi, kata dia, seperti diketahui, pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) sangat berperan dalam meningkatkan potensi pembajakan. Di sisi lain, pemahaman masyarakat tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) juga masih rendah.

"Kurangnya pemahaman atas HAKI berpengaruh pada penghargaan orang pada HAKI orang lain," kata Ari.

Penyebab lain dari pembajakan, kata dia, di antaranya adalah harga jual produk bajakan yang jauh lebih rendah dari produk original. Itu terjadi karena produk bajakan ilegal dan tidak membayar pajak serta umumnya berkualitas rendah.

Penyebab pembajakan lainnya, kata dia, adalah distribusi produk original yang umumnya terbatas. Namun, penyebab yang paling sulit untuk ditanggulangi adalah habbit atau kebiasaan yang membuat masyarakat lebih memilih produk bajakan dibandingkan original.

Padahal, menurut Ari, bukan hanya pembuat karya dan pemerintah yang dirugikan dengan maraknya pembajakan, tapi juga konsumen. Hal itu dimungkinkan terjadi karena rendahnya kualitas produk bajakan.

"Contohnya kandungan virus pada DVD bajakan yang menimbulkan kerusakan terhadap DVD player. Begitu juga dampak negatif kesehatan dari produk obat-obatan palsu," kata Ari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement