REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menjelaskan, pemerintah harus mewaspadai risiko resesi ekonomi global yang dikhawatirkan terjadi pada 2021. Sebab, dampaknya dapat dirasakan oleh Indonesia, terutama dari sisi perdagangan.
Rizal menuturkan, kondisi ekonomi global memang menuju perlambatan sejak tahun lalu. Hal ini terlihat sejak arus investasi dan perdagangan global yang melambat akibat perang dagang. "Ditambah, kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar demi mendorong ruang pertumbuhan lebih tinggi," tuturnya dalam diskusi online Indef, Ahad (8/9) sore.
Kondisi perekonomian global pada kuartal kedua ini diperkirakan kembali mengalami perlambatan. Kondisi tersebut tercermin dari data industri serta perdagangan di pasar global yang cenderung melemah.
Namun, Rizal menuturkan, kondisi global tidak serta merta membuat Indonesia langsung mengalami resesi. Kuncinya sangat tergantung pada keadaan ekonomi Amerika Serikat dan kebijakan pemerintah Trump mengenai perang dagang dan perang mata uang.
"Serta, kebijakan The Fed untuk menurunkan atau menaikkan suku bunga," ujarnya.
Di sisi lain, Rizal menambahkan, kondisi bunga investasi jangka panjang di bond pemerintah lebih rendah dari jangka pendek. Artinya, imbal balik investasi akan cenderung bernilai negatif. Apabila ini terus berlanjut, pesimisme terhadap ekonomi panjang juga akan berlanjut yang dapat terlihat sebagai pertanda resesi ke depan.
Untuk mengantisipasi berbagai efek tersebut, Rizal menganjurkan pemerintah melakukan optimalisasi kebijakan fiskal dan moneter. Di antaranya, meningkatkan penanaman modal luar negeri, khususnya Foreign Direct Investment (FDI) sesuai dengan kebutuhan. Khususnya terhadap industri manufaktur yang mampu mendorong supply-driven.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun. Baik pembangkit listrik, jalan raya bebas hambatan dan bandara untuk mendorong perbaikan produksi agregat.
Sementara itu, dari sisi kebijakan moneter, Rizal menekankan perbaikan neraca pembayaran. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terkendala akibat adanya tekanan nilai tukar yang berasal dari kegiatan impor.
"Maka, perlu melakukan pengendalian terhadap nilai tukar," ucapnya.
Secara umum, Rizal menyebutkan, perlu dilakukan sinergitas bauran kebijakan, yaitu antara ekspansi fiskal dan ekspansi moneter dalam kurun waktu yang bersamaan. Bank Indonesia dan pemerintah perlu duduk bersama dan melakukan antisipasi resesi ini tidak hanya untuk jangka pendek, juga jangka panjang.
Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan dan diimplementasikan akan mendorong terhadap pertumbuhan ekonomi sesuai yang ditargetkan tahun ini yaitu sebesar 5,3 persen.
"Apabila tidak tercapai, tentu saja resesi akan menghampiri kinerja ekonomi, suka ataupun tidak suka," kata Rizal.