REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan bisnis operator pelabuhan makin hari makin ketat. Masing-masing operator menawarkan pelayanan optimal untuk dapat memperbesar skala bisnis. Persaingan pelabuhan antar negara juga makin ketat, terutama dalam meningkatkan efisiensi biaya logistik demi mendulang profit.
Di tengah persaingan itu, transformasi bisnis diperlukan para operator, termasuk di Indonesia, PT Pelindo II atau Indonesia Port Corporation (IPC) II. Operator pelabuhan pelat merah ini baru saja membentuk Direktorat Transformasi dan Pengembangan Bisnis untuk mengawal perubahan radikal di tubuh perusahaan.
Direktur Transformasi dan Pengembangan Bisnis IPC, Ogi Rulino, menuturkan transformasi diperlukan agar perseroan bisa merubah dirinya sendiri. Awalnya, model bisnis IPC layaknya tuan tanah yang menyewakan lahan dan dikontrak oleh perusahaan bongkar muat. Pendapatan usaha diperoleh dari bisnis itu.
Seiring perkembangan zaman, IPC kemudian menjadi operator pelabuhan yang mengoperasikan bongkar muat barang. Termasuk, mengatur standardisasi kerja peralatan dan para karyawan. Sejak 2016, perseroan kemudian melakukan perubahan operasional dari manual ke sistem online digital.
"Tapi ke depan, tidak cukup itu. Kita harus lakukan tranformasi bahwa IPC harus menguasai seluruh Indonesia," kata Ogi saat berbincang dengan Republika.co.id di Tanjung Priok, Jakarta, belum lama ini.
IPC punya ambisi menjadi fasilitator perdagangan berkelas dunia. Setidaknya, ambisi itu dapat mulai terealisasikan pada tahun 2024 mendatang. Ogi menjelaskan, fasilitator yang dimaksud yakni membuat IPC sebagai operator pelabuhan sekaligus penyedia layanan perdagangan logistik secara lengkap.
Dalam implementasinya, lanjut Ogi, IPC tengah mempersiapkan sistem logistik online. Sistem tersebut memudahkan pelaku industri maupun pengguna jasa pelabuhan yang akan mengirim atau menerima barang dari luar pulau dan luar negeri.
"Contoh, ada yang mau kirim barang. Dia sekalian ingin pesan truk lewat kita dan semua yang dibutuhkan kita sediakan. Konsepnya seperti perusahaan aplikasi saat ini," ujarnya.
Setelah logistik online, IPC akan membentuk logistik marketplace sehingga menjadikan layanan pelabuhan benar-benar menjadi fasilitator perdagangan. Layanan logistik marketplace memberi informasi terintegrasi.
Mulai ihwal kontainer dan pemiliknya, akan menggunakan kapal apa, tiba di pelabuhan mana, hingga kapan waktu tiba di tempat tujuan. Seluruhnya akan menjadi satu kesatuan dalam satu platform sehingga pengguna jasa pelabuhan akan dimudahkan. Bagi sisi perseroan, menurut Ogi, efisiensi bisnis dapat tercapai.
Ogi mengatakan, prinsip IPC berpegang pada trilogi maritim. Yakni sektor perkapalan, pelabuhan, serta industri pengguna jasa pelabuhan dan kapal. Ogi mengatakan, trilogi itulah yang harus diintegrasikan oleh operator pelabuhan agar sektor perdagangan makin menggeliat.
"Itulah yang namanya trade facilitator. Termasuk nanti hubungannya dengan urusan bea cukai, karantina, perdagangan, perindustrian, dan tentunya bank. Tapi, masih banyak tahapan-tahapan yang harus kita lalui," ujarnya.
Ia berpendapat, peningkatan kapasitas layanan pelabuhan menjadi suatu keharusan di era digital saat ini. Indonesia bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan Myanmar yang tengah gencar mengembangkan layanan pelabuhan. Disaat perusahaan di negara lain melakukan disrupsi, mau tidak mau IPC harus siap.
Di sisi lain, Pelindo II melihat ceruk pendapatan bisnis bisa berkembang. Saat ini perseroan sebagai operator meraup pendapatan dari keluar dan masuknya barang di pelabuhan. Itu pun, dari 100 persen pendapatan, hanya 25 persen yang masuk ke kantong perseroan. Sisanya untuk pemilik gudang, kapal, dan jasa-jasa lainnya.
"Valuasi perusahaan aplikasi saat ini hingga miliaran padahal tanpa aset. IPC dengan asetnya sekitar Rp 50 triliun tentu bisa lebih," kata dia.
Karena itu, sebagai fasilitator perdagangan diyakini bakal memberi tambahan laba. Hanya saja, Ogi belum dapat menyampaikan, seberapa besar kenaikan pendapatan dan investasi yang akan dikucurkan.
Sejauh ini, pimpinan perusahaan bersama Kementerian BUMN masih berkoordinasi untuk menetapkan langkah jangka panjang hingga 2024. Sebab, kata Ogi, investasi untuk pelabuhan tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek satu atau dua tahun. Tapi, minimal tiga, empat tahun atau lebih.
Ogi menekankan, big data dan ketersediaan sumber daya manusia menjadi dua hal penting untuk menuju itu. Big data diperlukan agar perseroan bisa melakukan prediksi tren bisnis ke depan dari data tren di masa lalu.
Soal SDM, IPC masih terus melakukan pelatihan formal dan informal untuk meningkatkan kemampuan pekerja yang dimiliki saat ini. "Kami siap dan harus berinvestasi untuk itu semua. Bukan hanya hardware dan software, tapi juga humanware," katanya.
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Operasi IPC, Prasestyadi, menuturkan sementara ini perseroan telah mnerapkan sistem digital pada tiga proses bisnis. Yakni layanan keluar masuk kapal di pelabuhan, pengaturan terminal, hingga urusan kegiatan di luar terminal. IPC diklaim cukup berhasil menerapkan sistem komputerisasi.
Ia menyebut, total investasi yang telah digelontorkan IPC sekitar Rp 1,5 triliun kurun waktu 2016-2018. Nilai investasi itu dinilai tertutup oleh peningkatan laba yang mencapai 20-30 persen.
Prasetyadi mengatakan, pada prinsipnya laba yang dicetak tersebut merupakan dampak dari penurunan biaya produksi lewat digitalisasi. Karena itu, dengan jumlah pendapatan yang sama pun, laba bisa meningkat.
"Digitalisasi menjadi cara untuk menciptakan pendapatan dan mengoptimalkan efektivitas pengeluaran," ujar dia.