REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan pelarangan ekspor bijih nikel. Aturan ini diumumkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot dalam jumpa pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, pada Senin (2/9).
"Pada saat ini sudah menandatangani permen (peraturan menteri) ESDM yang intinya adalah mengenai penghentian untuk insentif ekspor nikel per 1 Januari 2020," ujar Bambang.
Kebijakan Menteri ESDM Ignasius Jonan tentang pelarangan ekspor nikel terkait dengan percepatan terhadap pembangunan smelter, khususnya smelter nikel. Bambang menyebut, ada tiga hal yang menjadi dasar pertimbangan atas keluarnya aturan ini. Pertama, dari cadangan nikel nasional yang pada saat ini rekomendasi ekspor dinilai sudah sangat besar.
"Cadangan kita ini yang dapat ditambang hanya sekitar hampir 700 juta ton, sedangkan cadangan terkira memang 2,8 miliar ton, tapi harus dilakukan penelitian, eksplorasi lebih detail untuk bisa ditambang sehingga dengan cadangan tersebut kita perlu berpikir sampai berapa lama kalau seandainya selama ini kita berikan izin untuk ekspor," ucap Bambang.
Bambang menjelaskan, rekomendasi kuota ekspor nikel yang diberikan pemerintah sebesar 76,2 juta ton dengan realisasi ekspor nikel sebesar 38,2 juta ton untuk periode Juli 2017 hingga Juli 2019. Aturan pelarangan ekspor, kata Bambang, hanya terhadap nikel, sementara mineral dengan kriteria tertentu lainnya seperti bauksit hingga tembaga tidak mengalami perubahan dan tetap berjalan seperti aturan lama dan berlaku sampai 2022.
Poin kedua, dengan perkembangan teknologi, menurut Bambang, dapat mengolah nikel dengan kadar rendah, yang intinya nikel tersebut dapat menghasilkan komponen yang berguna membuat baterai dalam rangka program percepatan mobil listrik. Bambang menyampaikan, meski masih dalam proses rencana, namun sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan inisiasi pembangunan fasilitas pemurnian dengan teknologi hydrometalurgi guna mendukung percepatan industri mobil listrik di dalam negeri seperti PT Smelter Nikel Indonesia, Huayue Nickel Cobalt, QMB New Energy Material, dan Harita Prima Abadi Mineral.
"Ini semuanya ingin lakukan proses nikel kadar rendah yang mengandung litheum ini jadi permulaan kita manfaatkan kadar rendah," lanjut Bambang.
Pertimbangan ketiga, ucap Bambang, pembangunan smelter nikel dirasa sudah cukup besar dengan 11 smelter yang sudah dibangun dan 25 smelter yang dalam proses pembangunan, dengan total hampir 36 smelter. "Oleh karena itu dengan mempertimbangkan plus minusnya, pemerintah ingin percepatan nikel yang sudah jadi 11 smelter dan 25 smelter yang sedang dibangun, agar bisa cepat bergerak maka pemerintah inisiatif menghentikan ekspor nikel dalam segala kualitas," kata Bambang.
Pemerintah, lanjut Bambang, memberikan kesempatan bagi pelaku industri yang sudah mendapat izin ekspor untuk melakukan ekspor nikel hingga 1 Januari 2020. "Atas dasar tersebut, segala sesuatu yang berhubungan dengan nikel dan ekspor akan berakhir pada 31 Desember 2019," ungkap Bambang.
Bambang sendiri belum mengatahui nomor peraturan menteri tentang pelarangan ekspor nikel lantaran masih dalam proses di Kementerian Hukum dan HAM. "Katanya hari ini sudah selesai keluar. Plus minus mesti ada tapi demi kemajuan nilai tambah yang akan kita tuju untuk pengolahan mineral di seluruh Indonesia," lanjutnya.
Pelarangan ekspor nilai terbilang dipercepat dari rencana sebelumnya yang baru akan dilakukan pada 2022. Sebagai informasi, pemerintah melalui peraturan menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, melarang ekspor nikel pada 2014.
Namun pada 2017, pemerintah mempersilakan ekspor bijih nikel dengan peraturan menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2017 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dam pemurnian di dalam negeri. Dalam pasal 10 beleid, disebutkan pengusaha tambang yang telah memenuhi pemanfaatan nikel dalam negeri lewat pembangunan smelter, bisa melakukan penjualan nikel dengan kadar rendah atau kurang dari 1,7 persen dalam jumlah tertentu, atau paling lama lima tahun sejak berlakunya permen tersebut yakni pelarangan ekspor nikel akan dilakukan pada 2022.