Selasa 20 Aug 2019 16:38 WIB

Penurunan Anggaran Subsidi 2020 tak Pengaruhi Daya Beli

Alokasi subsidi yang tertuang dalam RAPBN 2020 tidak bersifat mutlak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan, Sri Mulyani
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Menteri Keuangan, Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyebutkan, penurunan subsidi energi pada tahun depan terjadi karena belum memasukkan kekurangan bayar subsidi energi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dampaknya, nominal yang tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 menjadi lebih rendah dibandingkan tahun lalu maupun 2018. 

Askolani juga memastikan, pemerintah tidak akan memangkas volume dari subsidi yang diberikan kepada masyarakat, baik untuk listrik maupun energi. Oleh karena itu, ia menyebutkan, masyarakat yang menjadi target subsidi tidak perlu cemas. "Daya belinya tidak terpengaruh," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (20/8). 

Baca Juga

Dalam RAPBN 2020, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi tahun depan sebesar Rp 137,5 triliun, lebih rendah dibandingkan anggaran subsidi energi dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 159,97 triliun. Nilai tersebut juga lebih rendah daripada proyeksi (outlook) realisasi subsidi energi tahun ini, yakni Rp 142,6 triliun.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, alokasi subsidi yang tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 tidak bersifat mutlak. Sebab, alokasi anggaran subsidi dalam RAPBN memiliki basis volume yang kemudian dikaitkan dengan harga. Sementara itu, harga dipengaruhi oleh faktor yang sangat dinamis, yakni nilai tukar rupiah dan harga komoditas. 

Sri menjelaskan, alokasi subsidi merupakan suatu indikatif berdasarkan parameter volume dan harga. Baik itu untuk menentukan alokasi BBM, LPG maupun listrik. 

"Namun, realitanya di luar volume dari sisi harga mungkin akan terjadi perubahan atau dinamika yang muncul tidak sama persis dengan asumsinya," ujarnya ketika ditemui di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Senin (20/8).

Tapi, Sri memastikan, pemerintah akan terus memantau dinamika yang ada sebagai dasar membuat kebijakan. Kondisi ini sudah dilakukan pemerintah pada 2018, yaitu membuat kebijakan dengan fokus untuk stabilisasi dan menjaga momentum.

"Pada 2020, kami juga akan melihat dinamikannya. Tentu akan kita lihat bagaimana kondisi yang akan kita hadapi," tuturnya. 

Pada tahun depan, setidaknya terdapat empat kebijakan pemerintah terkait subsidi BBM dan LPG 3 kilogram. Pertama, melanjutkan pemberian subsidi tetap untuk solar dengan besaran subsidi menjadi Rp 1.000 per liter. Kedua, subsidi selisih harga untuk minyak tanah dan LPG tabung 3 kilogram. 

Ketiga, mengupayakan penyaluran LPG tabung 3 kg yang lebih tepat sasaran guna meningkatkan efektivitas sasaran. Keempat, meningkatkan sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah dalam pengendalian dan pengawasan konsumsi BBM dan LPG bersubsidi agar tepat volume dan sasaran. 

Di sisi lain, kebijakan subsidi listrik juga terbagi menjadi lima poin. Yaitu, diberikan pada golongan tarif tertentu, diberikan secara tepat sasaran bagi seluruh golongan rumah tangga daya 450 VA dan rumah tangga miskin dan tidak mampu daya 900 VA dengan mengacu pada Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin.

Kebijakan ketiga, meningkatkan rasio elektrifikasi dan mengurangi disparitas antarwilayah. Keempat, pemerintah mendorong optimalisasi pembangkit listrik berbahan gas dan batu bara, serta menurunkan kondisi pemakaian BBM dan pembangkit tenaga listrik. Tujuannya, peningkatan efisiensi subsidi listrik. 

Kebijakan kelima, mengembangkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang lebih efisien. Pada intinya, Sri menuturkan, subsidi energi diarahkan untuk menjaga stabilitas harga. "Dengan memperkuat pengendalian dan pengawasan konsumsi energi agar tepat sasaran," katanya dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (16/8) malam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement