Senin 19 Aug 2019 06:55 WIB

Perang Dagang dan Brexit Ancam Ekonomi Afrika

Perang dagang mengguncang pasar global dan menimbulkan rasa takut pada para investor.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
YUAN. Petugas bank menghitung dolar AS di samping tumpukan yuan Cina di Hai'an, Provinsi Jiangsu, China, Selasa (6/8). Nilai tukar yuan Cina merosot tajam atas dolar AS sebagai akibat dari perang dagang dengan Amerika Serikat.
Foto: Chinatopix via AP
YUAN. Petugas bank menghitung dolar AS di samping tumpukan yuan Cina di Hai'an, Provinsi Jiangsu, China, Selasa (6/8). Nilai tukar yuan Cina merosot tajam atas dolar AS sebagai akibat dari perang dagang dengan Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Perang dagang antara Cina dengan Amerika Serikat (AS) serta ketidakpastian akhir dari Brexit berdampak negatif terhadap ekonomi Afrika. Menurut Presiden Africa Development Bank (AfDB) Akinwumi Adesina, intensitas risikonya bahkan meningkat dari hari ke hari.

Dilansir di Reuters, Ahad (18/8), perselisihan perdagangan antara dua ekonomi terbesar diketahui telah mengguncang pasar global dan menimbulkan rasa takut pada para investor. Bahkan, memasuki periode tahun kedua, peristiwa ini tampak tidak memiliki titik akhirnya.

Di sisi lain, Inggris tampaknya akan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober tanpa kesepakatan transisi. Para ekonom mengkhawatirkan kebijakan tersebut berpotensi sangat mengganggu aliran perdagangan di negara lain.

Adesina menjelaskan, apabila guncangan eksternal global yang ditandai dengan dua peristiwa itu meningkat, peninjauan kembali terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Afrika dapat dilakukan. Sebelumnya, AfDB memproyeksikan, ekonomi Afrika dapat tumbuh empat persen pada 2019 dan 4,1 persen pada 2020.

Adesina menuturkan, revisi tersebut tergantung pada guncangan eksternal yang dapat memperlambat pertumbuhan global. "Dan, masalah ini terus meningkat dari hari ke hari," ujarnya kepada Reuters, Sabtu (17/8) malam waktu setempat.

Setidaknya ada tiga isu internasional yang disebutkan Adesina dapat memperlambat pertumbuhan global dan berimplikasi bagi negara-negara di Afrika. Pertama, ketidakpastian Brexit. Kedua, suasana memanas antara Pakistan dengan India yang terjadi belakangan ini. Terakhir, peristiwa terpenting, perang dagang antara AS dengan Cina.

Adesina menyebutkan, negara-negara Afrika dapat melewati ini dengan dua solusi. Yaitu meningkatkan aktivitas perdagangan satu sama lain dan menambah nilai produk pertanian guna meredam dampak guncangan eksternal.

Secara signifikan, perang dagang telah mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi di Cina. Oleh karena itu, permintaan impor dari Cina telah menurun secara signifikan. "Dampaknya, permintaan terhadap produk dan bahan baku dari Afrika akan turun lebih jauh," tutur Adesina.

Tidak kalah penting, perang dagang juga akan membuat Cina memutuskan menarik investasinya di luar negeri, termasuk di Afrika. Hal tersebut akan mempengaruhi bantuan pembangunan resmi yang kini terus berjalan di Benua Hitam.

Pada bulan lalu, Afrika baru saja meluncurkan zona perdagangan bebas benua, Wilayah Perdagangan Bebas Benua Afrika. Adesina menilai, fasilitas ini dapat membantu mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Hanya saja, negara-negara Afrika tetap butuh menghilangkan tambahan nontarif guna mendorong pertumbuhan.

Adesina menekankan, negara yang memiliki volatilitas lebih rendah merupakan negara yang melakukan aktivitas perdagangan regional lebih banyak. Selain itu, mereka tidak akan bergantung pada ekspor bahan baku. "Tantangan tidak dapat diselesaikan kecuali semua hambatan diturunkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement