REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah satu tahun Isman Aryanto Sultan berjualan kopi secara online. Ia mulai berdagang lewat daring seiring masuknya sinyal telekomunikasi maupun internet ke desanya di Walangsawah, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) setahun lalu.
Meski sinyal masih terbatas ia menangkap peluang bisnis untuk memasarkan kopi dari tanah kelahirannya. "Kopi ini saya ambil dari keluarga dan tetangga di Walangsawah," ujar Ary, sapaan akrabnya, ketika berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (8/8).
Tidak hanya dari Walangsawah, kopi juga diambil dari kampung sekitar seperti di Wulandoni, Boto, dan Belek. Walangsawah berjarak tempuh sekitar dua jam dari pusat kota Kabupaten Lembata.
Untuk mencapai Kabupaten Lembata butuh sekitar dua hari satu malam dari ibu kota NTT, Kupang, menggunakan kapal feri. Bisa juga ditempuh menggunakan pesawat Transnusa dengan waktu yang lebih cepat.
Ary mengaku mengolah kopi dari mulai pengeringan, penggilingan, hingga proses pengepakan. Untuk proses pengepakan, ia pesan bungkus lewat orang yang jualan di Instagram.
Sementara cover untuk ditempel di merek kopi ia gambar sendiri. "Karena di sini biaya cetak untuk stiker atau kertas untuk label mahal, jadi saya memilih untuk gambar sendiri dulu," tutur pria berusia 27 tahun itu.
Soal proses pengeringan ia tidak ada masalah karena cuaca NTT yang cukup panas. Bahkan dengan suhu yang panas ini membuat kadar air dalam kopi menjadi semakin minim dan tentunya kualitas kopi kian berkualitas. "Kopi di sini enak tapi cari pengolahannya masih tradisional," katanya.
Ia menjual kopi melalui Facebook, Instagram maupun aplikasi pertemanan Whatsapp. Ary memberi nama merek kopinya 'Tubruk Rumpu-Rampe'. Nama ini ia ambil dari makanan olahan sayuran di Flores.
Lewat jejaring sosial ini ia mampu menjual kopinya hingga ke ibu kota. "Saya jual sampai ke Jakarta," kata ayah dua orang anak ini.
Ia menjual sekitar 30 bungkus per bulan. Berat kopi per bungkus 150 gram. Harga jual Rp 35 ribu untuk yang bubuk dan roasting Rp 25 ribu. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim. "Saya juga buka kedai di kota, peminatnya lumayan," ujar pria yang memilih mundur dari pegawai honorer di pemda setempat itu.
Saat berbincang dengan Republika.co.id, Ary baru saja sampai di kedai. Ia langsung beres-beres dan merapihkan kedainya sebelum dibuka. Ary mengakui, faktor sinyal sangat mempengaruhi dalam jual beli bisnis online ini. Tanpa sinyal dia akan sangat kesulitan untuk menjual produknya.
Sinyal stabil
Sebelum sinyal masuk ke Walangsawah, ia harus ke desa sebelah untuk bisa berkomunikasi menggunakan telepon genggam, namun kini tidak lagi.
Hanya saja ia berharap agar sinyal telekomunikasi maupun internet bisa lebih stabil supaya warga-warga desa di sini dapat langsung menjual produk-produknya ke konsumen.
"Di sini daerah subur banyak hasil tani ini seperti kopra, ya kalau sinyal semakin stabil, petani bisa lancar jualan online juga," katanya. Adapun sinyal telekomunikasi di kedai miliknya di Lembata tak ada masalah. "Lancar pak," katanya menambahkan.
Berkembangnya teknologi digital harus diakui telah memudahkan orang untuk berjualan secara langsung ke konsumen tanpa harus bertatap muka.
Kondisi tersebut menguntungkan tak hanya buat pengusaha di kota, tapi juga usaha mikro di daerah.
Mereka bisa menjual langsung produknya ke konsumen. Terlebih, sinyal telekomunikasi sudah mendukung hingga ke desa-desa.
Senada dengan Ary, Sudarmanto juga menjual produk kopinya lewat media sosial. Sudarmanto merupakan warga Desa Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan.
Ayah dua orang anak menjual produk kopinya yang ia beri nama 'Sruput Mania' lewat situs Facebook dan Whatsapp. Semakin sering ia mempromosikan kian banyak penggemar kopi yang memesan. "Beberapa yang jauh yang saya kirim sampai ke Riau, Tangerang, dan Bogor," jelasnya kepada Republika.co.id.
Beruntung, kata ia, sinyal telekomunikasi maupun internet di Desa Sidomulyo 'lancar jaya'. Ia tidak kesulitan untuk mengunggah atau mempromosikan kopi ke para pelanggan.
Sinyal yang kuat juga membuat ia mudah untuk berkomunikasi dengan pelanggan. "Sinyalnya lancar mas, meski di desa," ujar pria yang kini sudah berusia 30 tahun itu.
Bagi Sudarmanto, sinyal penting buat berjalannya bisnis online. Ia tidak bisa membayangkan jika menjalankan bisnis tanpa sinyal. Apalagi, ia mempunyai grup khusus Kopi Mania di Whatsapp. "Sekarang baru ada 25 anggota, tapi ini biasanya kita suka ngadain ngopi bareng juga sambil diskusi, 'ngopi reboan'," tuturnya.
Sudarmanto (kedua dari kanan) bersama Wakil Wali Kota Bandar Lampung Yusuf Kohar (kedua dari kiri) mempromosikan kopi 'Sruput Mania'.
Sudarmanto mengirimkan pesanan kopi dalam jumlah berbeda-beda. Ada yang dua kilogram atau hingga lima kilogram. Karena, kata ia, ada juga pelanggan yang bukan untuk konsumsi melainkan dijual kembali.
Ia menjual setiap satu kilogram seharga Rp 55 ribu. Kalau sedang ramai, dalam sebulan ia bisa menjual hingga satu kuintal. "Ya kalau penghasilan kotor sekitar Rp 5.500.000," katanya.
Bisnisnya, memang belum terlalu besar. Namun ia tetap optimistis jualan kopi yang dirintisnya ini akan semakin kinclong, apalagi di era teknologi digital sekarang. "Kopi sudah seperti kebutuhan," tuturnya sambil tersenyum.
Adapun biji kopi ia ambil dari Liwa, Kabupaten Lampung Barat. Liwa terkenal sebagai pusat penghasil kopi lampung. Kebetulan orang tuanya merupakan petani kopi.
Pada musim panen tahun lalu, Sudarmanto ikut dalam pemetikan. Ia memetik biji kopi berwarna merah yang berati sudah masak. "Saya memilih biji-biji yang sudah masak betul untuk usaha kopi ini," ujarnya
Biji yang dipilih ia jemur hingga kadar airnya sampai 16 persen. Mengapa 16 persen? karena dengan tingkat itu kualitas kopi jauh lebih baik. Berbeda dengan kopi-kopi yang pada umumnya dijual ke agen, biasanya tingkat kadarnya mencapai 17-18 persen.
Ketua Dewan Kopi Anton Apriyantono menilai bisnis kopi online memberikan dampak positif bagi perbaikan penghasilan petanis meski tidak besar. Namun paling tidak, bisnis ini menjaga harga di tingkat petani tidak terlalu jatuh saat panen raya.
Mantan menteri pertanian ini memandang, infrastruktur telekomunikasi di besar daerah sudah mendukung. Hanya saja petani membutuhkan sarana informasi untuk mengetahui harga kopi di berbagai tempat baik di dalam negeri maupun dunia.
"Hal ini dibutuhkan agar petani bisa menjual kopi dengan harga yang tepat," ujarnya kepada Republika.co.id.
Anton memandang, pertumbuhan bisnis kopi akan membaik sampai beberapa tahun ke depan mengingat tumbuhnya konsumen kopi di dalam negeri. Menurutnya, tantangan utama dari industri ini adalah dari sisi produksi kopi yang relatif stagnan beberapa tahun terakhir. Di samping itu kualitas kopi yang dihasilkan petani masih bervariasi, belum semuanya baik.
Sebagai catatan pada tahun lalu, konsumsi kopi di Indonesia mencapai 314.400 ton dengan pertumbuhan rata-rata 8,22 persen per tahun.
Secara terpisah, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) hingga kini masih terus meningkatkan kualitas sinyal dan jaringan internet untuk mendukung perkembangan UMKM maupun industri dalam negeri. Kemenkominfo mencatat pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 171 jiwa. Ada kenaikan pengguna hingga 10,2 persen atau 27 juta per tahun.
Pemerintah juga telah membangun layanan komunikasi hingga 96,71 persen dari seluruh wilayah di Indonesia. Dari jumlah itu, layanan 3G sudah sekitar 93,39 persen dan 4G 92,70 persen.
Menkominfo Rudiantara
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, Presiden Jokowi sejak dilantik menekankan bahwa program pembangunan dilaksanakan Indonesia Sentris. Bukan hanya di Pulau Jawa, melainkan merata ke seluruh Indonesia, tak terkecuali 182 daerah berstatus daerah tertinggal.
"Kementerian Kominfo terus berupaya dalam pemenuhan hak-hak masyarakat akan kebutuhan akses informasi dan komunikasi," ujarnya.
Di antaranya, kata Rudiantara, Program Indonesia Merdeka Sinyal 2020, Program Palapa Ring dan Pemasangan Akses Internet untuk seluruh Sekolah, Seluruh Puskesmas dan Seluruh Kantor Desa/Kelurahan di Wilayah Republik Indonesia.
Dengan pemerataan infrastruktur telekomunikasi, potensi ekonomi di seluruh Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh.