Kamis 01 Aug 2019 11:08 WIB

Mimpi Sederhana Label De Yati Bisko

Seluruh pembiayaan BTPN Syariah untuk perempuan dan keluarga prasejahtera produktif.

Nuryatin (kanan) dan putra pertamanya Syukran.
Foto: Budi Raharjo
Nuryatin (kanan) dan putra pertamanya Syukran.

REPUBLIKA.CO.ID, BIMA -- Tak muluk-muluk keinginan yang disampaikan Nuryatin. Namun harapan itu sangat berarti untuk menunjang perkembangan usaha rumahan yang dijalaninya selama ini. Ibu tiga anak ini ingin memiliki kemasan dan label sendiri untuk kue produksinya.

Nuryatin mempunyai usaha membuat kue tradisional Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun, selama bertahun-tahun, kue buatannya dijual tanpa merek dan label. Kue kering yang dilepas ke pasaran itu sudah cukup terkenal.

Sehingga orang lain bisa saja mengenakan label tertentu untuk kue buatan Suryatin. Padahal karena rasanya yang enak dan gurih, bahkan sekarang penjualannya sedang diusahakan untuk dikembangkan ke luar Pulau Sumbawa.

"Supaya kuenya bisa masuk ke minimarket-minimarket. Karena kalau tidak ada label, tidak bisa masuk," ujar Suryatin ketika ditemui di rumahnya di Bolo, Kabupaten Bima, NTB, Kamis (1/8). "Kalau ada labelnya, kita juga bisa dikenal sebagai sentra kue."

Tahun depan, Suryatin ingin penjualan kue-kuenya bisa menjangkau luar Pulau Sumbawa hingga ke Lombok. Sudah ada penjual yang bersedia menampung kue-kue produksinya. "Kue ini merupakan resep turun temurun keluarga," kata dia. Suryatin ditemani putra pertamanya yang juga manajer usahanya, Syukran, ketika menjelaskan usaha kecilnya.

Suryatin merupakan salah seorang nasabah ultramikro BTPN Syariah di Bima. Sejak 2014, ia menjadi nasabah keluarga prasejahtera produktif BTPN Syariah. Awalnya, ia hanya mendapatkan pembiayaan sebesar Rp 5 juta untuk menambah modal usahanya. Waktu itu ia hanya mempunyai tiga orang pekerja dengan dua jenis kue.

Lalu usahanya berkembang dan pembiayaannya pun bertambah menjadi Rp 10 juta dengan delapan pegawai dan tujuh jenis kue tradisional. Sekarang pembiayaan yang didapat Suryatin sudah mencapai Rp 20 juta. "Dulu omsetnya hanya Rp 500 ribu per hari, sekarang bisa mencapai Rp 3 juta," ujarnya.

Di wilayah kediamannya, Suryatin dan 12 nasabah lainnya dibina BTPN Syariah dalam sebuah komunitas penerima pembiayaan produktif untuk berbagai jenis usaha. "Proses pembiayaannya tak rumit," kata Suryatin menceritakan kembali perjalanan kerja samanya dengan BTPN Syariah.

Sudah mempersiapkan merek atau label kue tradisionalnya? Suryatin mengaku belum mendapatkan nama yang pas. "Tapi dulu ibu saya biasa dikenal dengan sebutan De Yati Bisko," ucap Syukran menimpali.

photo
BTPN Syariah.

BTPN Syariah sampai saat ini menjadi satu-satunya bank di Indonesia yang memfokuskan diri melayani keluarga prasejahtera produktif yang biasa disebut unbankable. Dengan hanya memiliki 25 cabang dan 41 Kantor Fungsional Operasional di seluruh Tanah Air, namun BTPN Syariah memiliki hampir 12 ribu karyawan yang melayani langsung ke sentra sentra nasabah di hampir 70 persen total kecamatan di Indonesia. Ada tiga juta nasabah pembiayaan.

Pada semester pertama 2019, BTPN Syariah mencatatkan pertumbuhan pembiayaan sebesar 24 persen, menjadi Rp 8,54 triliun dari Rp 6,87 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan ini sejalan dengan kemampuan bank menjaga kualitas kredit yang tercermin pada tingkat rasio pembiayaan bermasalah (Non Performing Financing/NPF) sebesar 1,34 persen, turun dari sebelumnya 1,65 persen.

"Seratus persen pembiayaan kita untuk keluarga prasejahtera produktif dan perempuan," ungkap Direktur Bisnis BTPN Syariah, Taras Wibawa Siregar.

Pembiayaan ultramikro yang disalurkan, ujar Taras, murni tanpa jaminan. Melalui pendekatan komunitas, bank merangkul kalangan perempuan karena dinilai layak menerima pembiayaan. "Karena pada umumnya, apa yang dilakukan ibu-ibu untuk keluarganya, untuk anaknya," kata Taras menjelaskan alasan BTPN Syariah lebih memilih kalangan perempuan sebagai nasabahnya. "Perempuan menjadi jangkarnya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement