REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong memastikan, pemerintah sudah menggarap peluang perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina. Salah satunya dengan menggalang relokasi pabrik manufaktur dari Cina ke Indonesia.
Upaya ini dilakukan sejak kuartal ketiga tahun lalu, melalui arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Thomas menyebutkan contohnya adalah delegasi gabungan antara BKPM dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang sudah berkunjung secara intensif ke sebuah kota di Cina, Dongguan.
Dongguan merupakan sentra industri mebel di Cina. "Kami lagi gencar melobi para pemilik pabrik mebel untuk melakukan relokasi," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (30/7).
Upaya pemerintah, menurut Thomas, sudah membuahkan hasil. Salah satu supplier utama Apple, Pegatron, kini sudah resmi mulai beroperasi di Batam dengan investasi sebesar 40 juta dolar AS.
Diprediksi, kegiatan manufaktur mereka mampu menghasilkan ekspor hingga 1 miliar dolar AS per tahun pada 2021 atau 2022. Saat ini, Thomas menyebutkan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto juga sudah berkomunikasi dengan supplier Apple lainnya untuk relokasi ke Indonesia.
Namun, Thomas mengakui, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengincar peluang perang dagang. Negara tetangga seperti India juga melakukan hal serupa. Setidaknya ada dua supplier utama Apple yang memilih relokasi ke India, yaitu Foxconn dan Wistron.
"Jadi kita memang menghadapi persaingan sengit dengan negara tetangga untuk bisa menggarap relokasi dari pabrik di Cina," katanya.
Thomas juga menekankan, pemerintah kini terus berkoordinasi secara intensif dengan Pemerintah Cina. Sebab, menurutnya, alasan untuk relokasi pabrik dari Cina ke negara lain bukan sekadar terkait isu perang dagang. Tapi, ini adalah saatnya Cina mengembalikan pabrik padat karya yang dulu diambilnya dari negara-negara di Asia Tenggara.
Thomas memberikan contoh, industri mebel dan elektronik dulu lari dari Asia Tenggara ke Cina. Kini, pabrik-pabrik di sektor tersebut harus kembali ke Asia Tenggara dan masuk ke negara baru seperti India dan Bangladesh.
Kondisi tersebut tidak terlepas dari struktur perekonomian Cina yang kini sudah tidak kondusif untuk industri padat karya. Thomas mengatakan, pada 2013 hingga 2014, jumlah tenaga kerja di sektor tersebut mulai berkurang dan beralih pada sektor jasa yang mengedepankan digitalisasi dan bernilai tambah tinggi. "Lalu, lebih ke sektor padat modal, bukan padat karya," ujarnya.