Rabu 31 Jul 2019 05:40 WIB

Hadapi Industri 4.0, Pemerintah Harus Ciptakan Regulasi yang Adaptif

Revolusi industri 4.0 membawa perubahan nyata dalam pergeseran pola bisnis

Rep: Redaksi WE Online(Warta Ekonomi)/ Red: Redaksi WE Online(Warta Ekonomi)
Hadapi Industri 4.0, Pemerintah Harus Ciptakan Regulasi yang Adaptif. (FOTO: Medium)
Hadapi Industri 4.0, Pemerintah Harus Ciptakan Regulasi yang Adaptif. (FOTO: Medium)

Revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan nyata dalam pergeseran pola bisnis di Indonesia, salah satunya industri ritel. Untuk itu, pemerintah didorong menciptakan regulasi yang adaptif guna menyetop kran pengangguran baru jika ada industri ritel konvensional yang jatuh akibat gagal bersaing dengan ritel online.

Baca Juga: Perkuat Bisnis di Era Industri 4.0, Astragraphia Ciptakan Inovasi Baru

Partner Melli Darsa & Co. PwC Indonesia, Indra Allen mengatakan, regulasi saat ini masih terpaku pada konteks bisnis ritel konvensional sehingga menjadi gagap dalam mengikuti tren industri ritel online yang pertumbuhannya begitu pesat

“Kita berharap pemerintah mampu menjadi pemimpin kemajuan industri 4.0, bukan justru dipimpin. Semua itu harus dimulai dari penerapan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan industri itu sendiri,” ujar Indra, Senin (29/7/2019).

Seperti diketahui, dalam sepuluh tahun terakhir, data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat industri e-commerce Indonesia mengalami peningkatan hingga 17%, dengan total jumlah usaha e-commerce mencapai 26,2 juta unit. Sebaliknya di saat yang sama, perkembangan bisnis ritel konvensional mulai redup. Akibatnya, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para karyawan juga tidak terhidarkan.

Salah satu alasan dari penutupan gerai konvensional adalah biaya yang tinggi seperti sewa ruangan, gaji pegawai, listrik dan lain-lain dimana hal-hal tersebut tidak menjadi beban bagi ritel online sehingga harga jual secara online bisa lebih murah.

Oleh karena itu, Indra menambahkan, regulasi yang mengakomodasi industri 4.0 perlu melibatkan semua pemangku kepentingan. Menurutnya, isu ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga perusahaan-perusahaan ritel terkait. 

Dalam menghadapi perkembangan teknologi, lanjut Indra, pemerintah harus mewajibkan perusahaan memberi pelatihan kepada para karyawan agar tidak gagap teknologi. Para karyawan perlu diberikan pengetahuan dan bekal berbasis teknologi informasi yang cukup agar dapat menunjang inovasi perusahaan dan memiliki modal untuk mengembangkan ekonomi kreatif di kemudian hari. 

Selain itu perlu dipertimbangkan pemberian insentif kepada ritel konvensional atau menyeimbangkan level playing field antara ritel konvesional dan online agar keduanya dapat berjalan beriringan tanpa mengorbankan satu sama lain, misalnya dari aspek pajak. Namun ritel konvensional juga harus introspeksi atas aspek pelayanannya. Kita sudah sangat familiar dengan kalimat.

“barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” dan proses retur yang prosesnya cukup berbelit. Hal ini tidak terjadi dalam ritel online dimana konsumen dapat mengembalikan barang yang telah mereka beli tanpa mengeluarkan banyak usaha.

Jika telat mengambil langkah, Indra khawatir dengan jatuhnya ritel konvensional akan berdampak lebih luas, seperti terjadinya pengangguran, turunnya daya beli masyarakat, hingga kemiskinan.

“Harus ada kolaborasi antara pemerintah dan pihak swasta agar SDM kita mampu dan siap menghadapi industri 4.0. Karena regulasi ini dibentuk bukan untuk menghambat kemajuan atau perkembangan industri itu, justru agar kita bisa siap memberikan perlindungan dan peluang bagi SDM kita di masa depan,” kata Indra.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan Warta Ekonomi. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab Warta Ekonomi.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement