Rabu 17 Jul 2019 14:21 WIB

Produksi Turun, Bulog Jamin Cadangan Beras Aman

Bulog masih menyerap beras petani, tetapi jumlahnya menurun.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Petani membajak sawah tadah hujannya dengan traktor tangan di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (16/7/2019).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Petani membajak sawah tadah hujannya dengan traktor tangan di Desa Porame, Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa (16/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski terjadi dampak penurunan produksi beras pada kemarau tahun ini, Bulog menjamin ketersediaan beras aman dan tercukupi di sepanjang 2019. Untuk itu, keran impor beras dipastikan tak akan dibuka tahun ini.

Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan, cadangan beras pemerintah (CBP) berjumlah 2,2 juta ton lebih. Dari jumlah tersebut, sebesar 1,5 juta tonnya telah dialokasikan ke dalam program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) pemerintah meliputi program bantuan sosial (bansos), termasuk kekeringan. 

Baca Juga

“Yang 1,5 juta ton itu bukan ambang maksimal, seandainya jumlah itu dirasa kurang, pemerintah bisa mengajukan lagi ke kita,” kata Awaludin saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/7).

Dia menjabarkan, realisasi KPSH pada tahun lalu mampu menyalurkan hingga 500 ribu ton. Tahun ini, sejak Januari hingga Juli beras yang sudah disalurkan dalam program KPSH berkisar 250 ribu ton. Artinya, dia menegaskan, jumlah alokasi KPSH yang ditetapkan diprediksi mampu memenuhi kebutuhan konsumsi walau kemarau melanda produksi.

Menurutnya, saat ini petani sudah selesai melaksanakan masa panen. Sehingga yang tersisa hanyalah panen gaduh atau panen susulan yang masih berlangsung di beberapa wilayah. Hal itu secara otomatis, selain faktor kemarau, juga mempengaruhi penurunan penyerapan beras petani oleh Bulog.

“Kita masih menyerap, cuma penyerapannya agak menurun karena produksinya juga sudah mulai minim,” kata dia.

Di sisi lain dia menilai, penyerapan Bulog yang menurun itu juga disebabkan faktor petani yang lebih memilih menjual berasnya ke pasar bebas. Sebab, di kala produksi minim, petani dinilai dapat menjual berasnya di harga yang sedikit lebih tinggi. Sedangkan Bulog, kata dia, hanya akan membeli beras petani jika kualitas dan harga yang diberikan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2015, di mana pembelian harga beras medium Bulog sebesar Rp 8.030 per kilogram (kg).

Dia menambahkan, Bulog menjamin ketersediaan dan penyaluran beras di saat musim kemarau tak mengesampingkan kualitas. Selain menerapkan standar sistem penyimpanan, kata Awaludin, Bulog juga melakukan sistem sortirisasi sebelum melakukan penyaluran.

“Yang namanya beras ya, dia kan barang hidup. Kalau ada yang rusak kondisinya di gudang, itu sudah kita pastikan nggak akan kita salurkan di program apapun,” ujar dia.

Ketua Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, faktor kemarau cukup mempengaruhi penurunan jumlah produksi beras petani. Kendati demikian, dia menegaskan, di beberapa daerah masih terdapat panen yang berlangsung.

“Di Jogja masih panen, hanya memang mayoritasnya panen ini sudah selesai untuk padi,” kata Henry.

Menurut Henry, meski terdapat penurunan produksi beras, namun terjadi kondisi yang cukup menguntungkan. Di mana masa panen raya telah berakhir sebelum musim kemarau tiba dan berlangsung hingga September nanti. Hanya saja, dia meminta kepada pemerintah untuk mengantisipasi faktor musiman yang dapat diprediksi tersebut.

“Sawah banyak yang kering, tapi kami (petani) tidak tahu luasan yang berpengaruh pada produksi padi itu secara spesifik berapa. Tapi yang jelas, penurunan produksi itu pasti ada,” ujarnya.

Henry menekankan, musim kemarau dan musim hujan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produksi. Namun, hal itu dinilai dapat diantisipasi oleh pemerintah dari jauh-jauh hari. Saat ini, mayoritas petani yang sawahnya dilanda kekeringan mengeluhkan jaminan irigasi yang dapat dialiri air secara konstan.

Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan) sebanyak 9.358 hektare sawah di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara terdampak puso alias gagal panen. Lahan Puso tersebut meliputi wilayah Jawa Barat 624 hektare, Jawa Timur 5.069 hektare, Jawa Tengah 1.893 hektare, Yogyakarta 1.757 hektare, dan Nusa Tenggara Timur seluas 15 hektare.

Sedangkan lahan pertanian yang terdampak kekeringan tercatat berada di wilayah Banten seluas 3.464 hektare, Jawa Barat 25.416 hektare, Jawa Tengah 32.809 hektare, Yogyakarta 6.139 hektare, Jawa Timur 32.809 hektare, Nusa Tenggara Barat 857 hektare, dan Nusa Tenggara Timur seluas 55 hektare.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement