Senin 15 Jul 2019 14:22 WIB

Bagaimana BPRS Bisa Bertahan di Era Teknologi?

BPRS disarankan berkonsolidasi dengan sesama segmennya.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Layanan di BPRS, ilustrasi
Layanan di BPRS, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Era teknologi mengharuskan industri perbankan akrab dengan perubahan, termasuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pengamat Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor, Irfan Syauqi Beik menyampaikan banyak pola bisnis yang berubah memasuki era teknologi.

"Memang pola-polanya mengalami perubahan, termasuk dalam bagaimana menjembatani surplus dan defisit, ada sesuatu yang tidak ditemukan dalam praktik di masa lalu," kata dia pada Republika.co.id, Senin (15/7).

Baca Juga

Perubahan ini berimbas pada semua industri termasuk BPRS di sektor keuangan. Menurutnya, ada banyak cara untuk adaptasi dalam menghadapi kecepatan perubahan karena teknologi. BPRS dengan skala mikro kecil menengah pun tetap memiliki kesempatan untuk bertahan dan maju.

"Memang tidak mudah, BPRS memiliki keterbatasan, baik dalam aturan mainnya, regulasi, yang tidak sama persis dengan Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah lainnya," kata Irfan.

Dengan segala potensi dan keterbatasan, ia menyarankan beberapa hal. Pertama, BPRS dapat berkonsolidasi dengan sesama segmennya di perbankan syariah. Misal dalam hal kolaborasi teknologi, co-branding layanan, sistem informasi, dan lainnya.

Irfan melihat kerja sama ini memungkinkan terlaksana dengan bank-bank syariah yang sudah besar. Kedua, BPRS harus tetap mengedepankan aspek nilai yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, seperti memupuk kepercayaan masyarakat dan ikatan silaturahim.

"Walau kemajuan teknologi sangat luar biasa, tapi penawaran nilai pada masyarakat tetap tidak tergantikan," kata Irfan.

Posisi penawaran BPRS dalam hal ini harus terus diperkuat. Ini memungkinkan mengingat skala bisnis BPRS yang mengedepankan bonding dengan nasabah. Irfan menilai BPRS dapat menawarkan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh teknologi finansial.

"Ada kenyamanan dan kepercayaan nasabah yang harus diperjuangkan, itu dapat mendatangkan loyalitas di masyarakat untuk tetap transaksi dengan BPRS," katanya.

Irfan menilai, bagaimana pun masih banyak masyarakat yang sangat memerlukan ikatan lebih dalam dari sekedar menyediakan layanan cepat dan mudah. Silaturahim antara nasabah dan perusahaan dapat menjadi satu sistem nilai yang menjamin keberlanjutan bisnis.

Ketiga, BPRS dapat membangun bisnis bersama dengan financial technology (fintech) yang telah menguasi pasar dengan teknologinya. Ini dapat menghemat biaya operasional juga menumbuhkan ekosistem yang saling merangkul daripada berkompetisi.

"Ini dapat saling menguntungkan satu sama lain dengan masing-masing kelebihannya, dengan menumbuhkan kolaborasi tentu akan berbeda semangatnya," kata Irfan.

Industri BPRS melambat dalam satu tahun terakhir. Asetnya tumbuh hanya sekitar 10 persen secara tahunan dari 2018. Padahal dalam kondisi normal, BPRS bisa tumbuh hingga di atas 20 persen.

Kondisi perekonomi Indonesia yang juga melemah jadi penyumbang kelesuan industri keuangan. Beberapa kondisi di tanah air juga turut menyumbang pada perlambatan bisnis, khususnya dalam mengakses likuiditas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement