Rabu 10 Jul 2019 14:39 WIB

Lahan Geothermal dan Pajale Dikecualikan dari Moratorium

Moratorium kedua lahan tidak permanen mengingat aspek kebutuhan pembangunan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10). Indonesia memeiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10). Indonesia memeiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bakal mengecualikan lahan berjenis geothermal serta yang difungsikan sebagai tanaman padi, jagung, dan kedelai (pajale) dari moratorium hutan. Moratorium yang dilangsungkan sejak 2011 itu rencananya bakal disahkan pada 17 Juli tahun ini.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Ruandha Agung Sugadirman mengatakan, moratorium izin hutan alam primer dan gambut diperbaharui tiap dua tahun sekali. Sejak 2011, dari 66 juta hektare lahan gambut dan hutan primer diklaim mengalami perkembangan yang semakin stabil sehingga tidak ada lagi izin yang dikeluarkan untuk pembukaan lahan.

“Ya memang masih ada pengecualian, terutama untuk lahan yang bersifat geothermal dan yang dimanfaatkan untuk pajale," kata Ruandha, di Gedung KLHK, Jakarta, Rabu (10/7).

Alasan tidak mempermanenkan moratorium kepada dua jenis lahan tadi dilakukan dengan menimbang aspek kebutuhan pembangunan nasional. Dia mengklaim, sejauh ini selain dua aspek tadi jumlah lahan dan hutan dipastikan akan dipermanenkan secara menyeluruh moratoriumnya guna menjadi cadangan kebutuhan lingkungan bagi Indonesia dan juga dunia.

Berdasarkan catatan hasil tinjauan hijau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pada 2016 separuh daratan Indonesia atau sekitar 90,3 juta hektare lahan merupakan kawasan hutan. Dari total tersebut, 46 juta hektare merupakan hutan primer yang kaya akan karbon dan keanekaragaman hayati. Sedangkan lahan gambut di Indonesia yang terdiri di empat pulau besar yakni Papua, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku merupakan merupakan yang terluas di dunia.

Sedangkan mengacu catatan KLHK, pada 2017 sekitar 120,6 juta hektare lahan Indonesia diklasifikasikan sebagai kawasan hutan negara. Secara hukum, perusahaan atau individu tidak dapat memiliki lahan di kawasan ini. Pengecualian berlaku atas 0,1 persen dari hutan negara yang dimiliki masyarakat adat. Dalam hal ini, pemerintah bertanggung jawab atas hutan negara dan pemanfaatan penerbitan izinnya.

Adapun klasifikasi penentuan pemanfaatan hutan negara menurut standar yang ditetapkan KLHK meliputi hutan konservasi seluas 22,1 juta hektare, hutan lindung seluas 29,7 juta hekatare, dan hutan produksi seluas 68,8 juta hektare.

Ruandha menambahkan, moratorium hutan yang akan dipermanenkan dalam waktu dekat ini bisa difinalisasi dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) maupun keputusan presiden (Kepres). Meski moratorium hutan akan segera difinalisasi, pemberian izin yang baru untuk mengeksplorasi geothermal masih diberikan KLHK.

“Untuk geothermal masih beberapa yang kita berikan izin baru eksplorasi,” kata Ruandha.

Senada dengan hal tersebut, Menteri LHK Siti Nubaya Bakar mengatakan, pemerintah berkomitmen meningkatkan kelestarian dan perlindungan terhadap lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyetop pemberian izin pembukaan lahan gambut.

“Sejak pemerintahan Kabinet Kerja ini, kami sudah upayakan moratorium dan kami tidak keluarkan izin pembukaan lahan,” kata Siti.

Seperti diketahui, pada 2017 KLHK menerbitkan peta fungsi ekosistem gambut nasional yang mengindikasikan bahwa separuh kawasan ekosistem gambut dan lahan gambut merupakan kawasan yang dilindungi. Kegiatan budidaya diizinkan berlangsung di separuh kawasan sepanjang tidak mengganggu kelestarian ekosistem gambut secara keseluruhan. 

Mengacu catatan KLHK, laju deforestasi tertinggi tercatat pada akhir 1990-an dengan tingkat deforestasi seluas 3,5 juta hektare per tahun pada periode 1996-2000. Sedangkan menurut proyeksi program lingkungan hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis OECD, Indonesia dapat kehilangan tutupan hutannya sebesar 15 persen pada 2015-2030 atau setara dengan kerugian ekonomi kumulatif senilai 10 miliar dolar AS hingga 25 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement