REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia masih perlu kerja keras dalam rangka mengatasi defisit neraca perdagangan meski hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 menyebutkan bahwa berbagai pihak sepakat untuk mengurangi tensi perang dagang. Pemerintah tetap perlu mencari strategi menyelesaikan defisit neraca perdagangan.
"Pemerintah masih harus tetap kerja keras dalam satu tahun ini untuk terus mencari strategi jitu untuk menyelesaikan defisit neraca perdagangan," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti ketika dihubungi di Jakarta, Senin (1/7).
Menurut Rachmi Hertanti, meski baik pihak Amerika Serikat (AS) maupun China melunak dalam membahas kemungkinan penyelesaian perang dagang, sepertinya hal tersebut masih belum bisa dilihat dampaknya dalam waktu singkat. Hal itu, ujar dia, karena permasalahan terkait perang dagang juga akan sangat bergantung kepada hasil akhir pembahasan antara AS dan Cina.
"Salah satu catatan penting adalah bahwa kebijakan proteksi AS tidak hanya kepada China, tetapi juga kepada negara-negara yang dianggap merugikan AS, termasuk Indonesia. Hal yang juga perlu dicek kembali adalah mengenai hasil dari proses review GSP (preferensi perdagangan) Indonesia oleh Amerika Serikat," kata Rachmi.
Menurut dia, pengkajian terhadap hal tersebut menjadi hal penting. Pasalnya, salah satu yang dapat meningkatkan perdagangan Indonesia dengan Amerika adalah membuka kemungkinan akses pasar ke AS.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan semua pihak yang berkepentingan dalam Pertemuan telah setuju untuk mengurangi tensi perang dagang. Meski demikian, tidak ada kesepakatan yang mengikat untuk mengurangi ketegangan dalam sistem perdagangan internasional yang saat ini lebih mengedepankan cara-cara unilateral. Padahal, ia mengingatkan, bahwa eskalasi dari tingginya tensi perang dagang terutama yang diakibatkan oleh AS dan Cina dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi global.
Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani mengutip proyeksi IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat terkoreksi 0,5 persen pada 2020 akibat ketegangan dagang. "Sebesar 0,5 persen dari PDB dunia itu lebih besar dari satu ekonomi seperti Afrika Selatan, jadi ini risikonya sangat besar," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.
Dengan kondisi tersebut, Sri Mulyani menyetujui apabila negara-negara yang bertikai seperti AS dan Cina mengusulkan adanya kebijakan perdagangan yang adil maupun win-win solution.