Rabu 19 Jun 2019 08:14 WIB

Bea Masuk Sampah Impor Rendah

Impor komoditas sampah tak terbendung imbas kebijakan Cina yang menyetop impor.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Petugas Bea dan Cukai Batam memeriksa salah satu dari 65 kontainer yang berisi sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/6/2019).
Foto: Antara/Andaru
Petugas Bea dan Cukai Batam memeriksa salah satu dari 65 kontainer yang berisi sampah plastik yang diduga mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (15/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS) Bagong Suyoto mengatakan, bea masuk sampah impor tergolong rendah. Adapun sampah impor yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Jakarta, Surabaya, dan Medan tarif bea masuknya hanya 10 persen. 

Suyoto mengatakan, saat ini di Tajung Priok terdapat onggokan lebih dari 116 kontainer sampah impor terdiri yang terdiri dari plastic scrap, olymic scrap, consumer scrap, PVCs scrap, dan aluminium crap. Sementara itu, kata dia, terdapat 48 ribu ton sampah plastik lagi dari Jerman sedang dalam perjalanan ke Indonesia. Menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungsn (Bapedal), sampah-sampah tersebut tergolong Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Baca Juga

"Jadi, sampah ini sudah seperti komoditas. Yang perlu diingat, apakah ini komoditas politik atau komoditas bisnis? Bea masuknya padahal rendah, tapi lingkungan jadi tercemar," kata Suyoto dalam keterangan pers, Rabu (19/6). 

Lebih lanjut, dia menyebut, impor komoditas sampah di Indonesia saat ini yang tak berbendung akibat imbas kebijakan Cina yang menyetop keseluruhan impornya, ditambah dengan kuatnya jaringan bisnis sampah antara negara industri maju dengan negara berkembang. Adapun mekasime impor sampah di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2016. Beleid tersebut diterbitkan dengan alasan pemenuhan bahan baku berupa potongan plastik (recycle non B3) industri daur ulang domestik. Sementara, kata dia, dalam praktiknya justru terdapat penyelewengan-penyelewengan dalam izin impor tersebut. 

Suyoto menjelaskan, seharusnya pemerintah dan importir lebih bijaksana dan berpikir panjang dalam menerapkan kebijakan yang ada. Sebab, kata dia, resiko pencemaran lingkungan, kesehatan masyarakat, harus diperhitungkan secara matang. "Jadi jangan berpikir demi keuntungan sesaat," kata dia. 

Pada tahun 1990-an, Suyoto mengungkapkan, terdapat 17 importir sampah yang mana tak satu pun di antara mereka bersedia bertanggung jawab atas sampah-sampah tersebut. Sekalipun telah terdapat larangan impor sampah (plastik) melalui Keputusan Menteri Perdagangan (Kepmendag) Nomor 349 Tahun 1992, dan sekali pun Jaksa Agung telah melakukan pemeriksaan di Tanjung Priok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement